Oleh: Mh. Nurul Huda (co) dan Syamsurijal Adhan
Tak seperti biasanya, siang itu, sebuah upacara perkawinan yang digelar di Teteaji, Sidrap menyedot perhatian warga sekitar. Tak hanya dihadiri para undangan, laki dan perempuan baik dewasa maupun anak-anak pun ikut menyemut di sekitar rumah Uga, sang pengantin perempuan.
Uga, gadis manis di kampung ini, sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang pemuda yang amat dicintainya. Budi, nama pria itu. Berwajah ganteng dan bertampang keren. Tapi, bukan keserasian pasangan itu yang memancing antusiasme para warga. Budi adalah seorang punker tulen..
“Warga mau tau, gimana perkawinan seorang punker sejati dengan cewek yang keluarganya teguh memegangi tradisi,” tutur Uga yang keturunan bangsawanan Bugis ini.
Benar. Ketika iringan pengantin datang, warga betul-betul dibuat kagum. Budi tidak menanggalkan atribut dan identitasnya sebagai punker. Piercing dan tindik tetap menghiasi bagian tubuhnya. Tak lupa sepatu bot yang khas membungkus kedua kakinya.
Uniknya, Budi rela membalut tubuhnya dengan pakaian pengantin ala adat kerajaan Bugis. Jas tutup, sarung bugis dan songkok tutup kepala khas Bugis. Ia pun membawa berbagai erang-erang, barang bawaan pengantin laki-laki berisi pakaian perempuan dan cincin kawin yang diletakkan di ujung paruh burung yang terbuat dari kain sarung. Mengiringi sang penganting, beberapa orang tua berpakaian adat. Tapi yang lebih mengundang senyum para warga adalah kehadiran puluhan para punker beratribut lengkap yang ikut mengiringi sang calon pengantin.
“Saya harus bisa negosiasi dengan aturan adat yang penting, tapi bukan berarti identitas itu kita lepas,” ujar Budi menimpali penuturan sang istri.
Apa yang dituturkan Budi bukan sekedar ungkapan retoris. Bagi Budi, perlu pejuangan panjang untuk memperoleh restu calon mertuanya yang teguh memegangi tradisi Bugis. Bahkan katanya perkawinan bisa kandas bila ia tidak pandai-pandai mengambil hati si calon mertua. Maklum, ayah Uga sempat meminta Budi meninggalkan dunia punk yang digelutinya.
“Boleh Pak. Saya akan keluar dari punk tapi saya tidak menjamin bisa memberi makan anak bapak,” ujar Budi setengah menggertak. Setelah berdialog panjang, rupanya orang tua Uga pun mulai mengalah dan menerima Budi apa adanya. “Asal dalam proses perkawinan pengantin laki-laki harus mengikuti beberapa prosesi adat,” ujar Uga menirukan ucapan ayahnya. Akhirnya antara kedua belah pihak pun tercapai kata sepakat.
Keteguhan punker yang tetap berada di luar jalur mainstream ini menarik disimak. Bagi punker macam Budi ini, praktek alienasi bukan hanya oleh kapitalisme industrial, tapi juga belenggu adat. Namun perlawanan itu tidak bisa dilakukan secara frontal. “Kondisi di Jakarta berbeda dengan Makasar-Bugis, adat di sini masih kental. Norma-norma yang membelenggu harus dilawan tapi dengan cara negosiasi,” tandas Killy, seorang punker yang baru dua minggu mudik dari Jakarta ini.
Punk dan tradisi lokal
Strategi perlawanan punker Makasar-Bugis nampak berbeda dengan pemberontakan punk yang selama ini diangkat dalam berbagai tulisan. Pemikir Cultural Studies semacam Hebdige, Hall dan Jeferson lebih banyak mengangkat perlawanan komunitas punk terhadap kelompok kelas menengah-atas. Punk hadir dalam kontradiksinya dengan gaya dan kebiasaan kelas menengah. Rambut klimis tersisir rapi dilawan dengan model mohawk. Tubuh bersih dengan pakaian rapi dilawan dengan tubuh penuh tatto, pearcing, tindik dan pakaian acak-acakan. Musik jaz dan musik klasik dikontraskan dengan musik punk yang hinggar-bingar dengan lirik-lirik sinis. Dengan demikian ada garis batas tegas yang membelah antar kelompok-kelompok sosial ini.
Kondisi berbeda rupanya dihadapi komunitas punk Makasar-Bugis. Mereka tidak sekedar bergumul dengan kapitalisme dan komodifikasi, tapi juga tradisi lokal dimana mereka hidup di dalamnya. Kondisi-kondisi inilah nampaknya yang membuat mereka membangun strategi yang lebih negosiatif dan adaptif ketimbang perlawanan totalnya.
Hal ini terlihat, misalnya, dalam lirik lagu-lagu para punker. Menurut penuturan Malik, seorang punker yang masih tercatat sebagai mahasiswa UIN Alauddin ini, para punker kerap menggunakan lagu-kagu Bugis dalam pertunjukan atau album-album mereka. Namun tentu saja, katanya, lagu-lagu itu berlirik perlawanan dengan diiringi warna musik yang hinggar-bingar.
Mungkin karena kemampuan mereka menempatkan diri ini yang membuat Spart-Toys di Sungguminasa bisa eksis dan bertempat di belakang Balla Lompoa. Bahkan tempat mereka biasa mangkal menjadi bagian dari rumah adat Gowa itu.
Sumber :http://nurulhuda.wordpress.com
Tak seperti biasanya, siang itu, sebuah upacara perkawinan yang digelar di Teteaji, Sidrap menyedot perhatian warga sekitar. Tak hanya dihadiri para undangan, laki dan perempuan baik dewasa maupun anak-anak pun ikut menyemut di sekitar rumah Uga, sang pengantin perempuan.
Uga, gadis manis di kampung ini, sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang pemuda yang amat dicintainya. Budi, nama pria itu. Berwajah ganteng dan bertampang keren. Tapi, bukan keserasian pasangan itu yang memancing antusiasme para warga. Budi adalah seorang punker tulen..
“Warga mau tau, gimana perkawinan seorang punker sejati dengan cewek yang keluarganya teguh memegangi tradisi,” tutur Uga yang keturunan bangsawanan Bugis ini.
Benar. Ketika iringan pengantin datang, warga betul-betul dibuat kagum. Budi tidak menanggalkan atribut dan identitasnya sebagai punker. Piercing dan tindik tetap menghiasi bagian tubuhnya. Tak lupa sepatu bot yang khas membungkus kedua kakinya.
Uniknya, Budi rela membalut tubuhnya dengan pakaian pengantin ala adat kerajaan Bugis. Jas tutup, sarung bugis dan songkok tutup kepala khas Bugis. Ia pun membawa berbagai erang-erang, barang bawaan pengantin laki-laki berisi pakaian perempuan dan cincin kawin yang diletakkan di ujung paruh burung yang terbuat dari kain sarung. Mengiringi sang penganting, beberapa orang tua berpakaian adat. Tapi yang lebih mengundang senyum para warga adalah kehadiran puluhan para punker beratribut lengkap yang ikut mengiringi sang calon pengantin.
“Saya harus bisa negosiasi dengan aturan adat yang penting, tapi bukan berarti identitas itu kita lepas,” ujar Budi menimpali penuturan sang istri.
Apa yang dituturkan Budi bukan sekedar ungkapan retoris. Bagi Budi, perlu pejuangan panjang untuk memperoleh restu calon mertuanya yang teguh memegangi tradisi Bugis. Bahkan katanya perkawinan bisa kandas bila ia tidak pandai-pandai mengambil hati si calon mertua. Maklum, ayah Uga sempat meminta Budi meninggalkan dunia punk yang digelutinya.
“Boleh Pak. Saya akan keluar dari punk tapi saya tidak menjamin bisa memberi makan anak bapak,” ujar Budi setengah menggertak. Setelah berdialog panjang, rupanya orang tua Uga pun mulai mengalah dan menerima Budi apa adanya. “Asal dalam proses perkawinan pengantin laki-laki harus mengikuti beberapa prosesi adat,” ujar Uga menirukan ucapan ayahnya. Akhirnya antara kedua belah pihak pun tercapai kata sepakat.
Keteguhan punker yang tetap berada di luar jalur mainstream ini menarik disimak. Bagi punker macam Budi ini, praktek alienasi bukan hanya oleh kapitalisme industrial, tapi juga belenggu adat. Namun perlawanan itu tidak bisa dilakukan secara frontal. “Kondisi di Jakarta berbeda dengan Makasar-Bugis, adat di sini masih kental. Norma-norma yang membelenggu harus dilawan tapi dengan cara negosiasi,” tandas Killy, seorang punker yang baru dua minggu mudik dari Jakarta ini.
Punk dan tradisi lokal
Strategi perlawanan punker Makasar-Bugis nampak berbeda dengan pemberontakan punk yang selama ini diangkat dalam berbagai tulisan. Pemikir Cultural Studies semacam Hebdige, Hall dan Jeferson lebih banyak mengangkat perlawanan komunitas punk terhadap kelompok kelas menengah-atas. Punk hadir dalam kontradiksinya dengan gaya dan kebiasaan kelas menengah. Rambut klimis tersisir rapi dilawan dengan model mohawk. Tubuh bersih dengan pakaian rapi dilawan dengan tubuh penuh tatto, pearcing, tindik dan pakaian acak-acakan. Musik jaz dan musik klasik dikontraskan dengan musik punk yang hinggar-bingar dengan lirik-lirik sinis. Dengan demikian ada garis batas tegas yang membelah antar kelompok-kelompok sosial ini.
Kondisi berbeda rupanya dihadapi komunitas punk Makasar-Bugis. Mereka tidak sekedar bergumul dengan kapitalisme dan komodifikasi, tapi juga tradisi lokal dimana mereka hidup di dalamnya. Kondisi-kondisi inilah nampaknya yang membuat mereka membangun strategi yang lebih negosiatif dan adaptif ketimbang perlawanan totalnya.
Hal ini terlihat, misalnya, dalam lirik lagu-lagu para punker. Menurut penuturan Malik, seorang punker yang masih tercatat sebagai mahasiswa UIN Alauddin ini, para punker kerap menggunakan lagu-kagu Bugis dalam pertunjukan atau album-album mereka. Namun tentu saja, katanya, lagu-lagu itu berlirik perlawanan dengan diiringi warna musik yang hinggar-bingar.
Mungkin karena kemampuan mereka menempatkan diri ini yang membuat Spart-Toys di Sungguminasa bisa eksis dan bertempat di belakang Balla Lompoa. Bahkan tempat mereka biasa mangkal menjadi bagian dari rumah adat Gowa itu.
Sumber :http://nurulhuda.wordpress.com