18 Juli 2008

TENTANG INDONESIA

(sebarkanlah tulisan ini ke seluruh pelosok Sabang-Merauke)

NEGARA INDONESIA INI TERKUTUK MENGULANGI KESALAHAN SEJARAHNYA, KARENA TIDAK BELAJAR DARI KESALAHAN SEJARAHNYA YANG LAMPAU.
(paraphrase ucapan Anwar Sadat)

Kesarjanaan Tinggi.

Team Ekonomi Kabinet SBY, khususnya Budiono, Sri Mulyani, tapi juga Purnomo Yusgiantoro dan Sofyan Djalil, sekalipun menyandang tingkat kesarjaan ekonomi tertinggi dan lulusan dari Universitas tersohor di Amerika Serikat, namun membingungkan, mengapa mereka melakukan kesalahan fundamental melenceng dari teori dan hukum ekonomi elementer sekalipun.

Anak SMEA sendiri, tahu benar bahwa harga, permintaan dan penawaran berhubungan fungsional satu sama lain. Bila permintaan naik harga akan naik atau bila penawaran naik harga akan turun. Atau bila harga naik, maka permintaan akan turun pada suatu tingkat keseimbangan di mana jumlah permintaan akan sama dengan jumlah penawaran.

Namun dalam hal kenaikan harga BBM, 24-5-2008, prinsip elementer ekonomi tersebut diabaikan total oleh Team Ekonomi Kabinet SBY.

Timbul pertanyaan apakah kesarjanaan Team ini bukan yang dikatrol oleh 'CIA'-Ford Foundation belaka dalam 'Mafia Berkeley' yang disetir dan sudah diperhitungkan dari semula akan berkuasa kelak di Indonesia? (Soal 'Mafia Berkeley' ini sudah dikupas dalam
buku 'Tsunami Bangsa Ini' terbitan LSKN).

Siapa yang tidak penasaran menyaksikan ketololan dari Team Ekonomi Kabinet SBY ini yang -tanpa dasar dan prinip ekonomi- begitu tega menaikkan harga BBM yang menyengsarakan rakyat kecil, sambil menutupi kejahatan mereka tersebut dengan menyandiwarakan jiwa sosial yang pura-pura sangat tinggi terhadap rakyat dengan menyalurkan subsidi BLT-'ratusan perak' yang tidak berarti apa-apa. Namun tidak dapat disangkal bahwa BLT diciptakan hanya untuk menutup-nutupi 'triliunan- perak' subisidi lain dari APBN yang disalurkan seenaknya oleh Sri Mulyani . Menteri keuangan ini justru menganggap dirinya seorang ahli-fiskal, padahal dia ahli-pembukukuan- elementer (boekhouding) pun tidak! Masa' menghadapi lonjakan harga minyak di atas $120 per barrel, Sri Mulyani merumuskan 86 skenario untuk ditentukan pilihannya oleh Presiden? Dalam republik negara hukum ini Undang-Undang Dasar Pasal 31, (4) sendiri bisa dilanggarnya mentah-mentah, bebas sebebas-bebasnya dengan 'impunity'.

Pelanggaran Prinsip-Hukum Harga dalam Kenaikkan Harga BBM dan Pemberian BLT.

Prof. DR Budiono menyanyikan teori harga ngawur: Pemerintah akan menyamakan harga BBM di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional. Ini dilakukan karena anggaran subsidi (APBN) akan ditekan lebih rendah dan Pemerintah ingin menyerahkan harga BBM pada
penyesuaian otomatis dengan harga dunia. Pada 15 Mei 2008, harga jual di Indonesia hanya sebesar Rp 4500 per liter. Dengan kenaikan sekitar 30%, harga jual premium per liter menjadi Rp 6000 per liter. Artinya, Pemerintah akan menyubsidi Rp 3450 per liter.

Prof.Chatib Basri dari Univ. Indonesia dan LPEM-UI menyajikan teori fiktif: Subsidi BBM per liter adalah Rp 4100 (selisih antara harga internasional premium Rp 8600 dan harga domestik kepada pemilik mobil adalah Rp 4100 per hari atau Rp 1,200 000 per bulan. Mereka yang tidak memiliki mobil atau motor, memperoleh subsidi BBM melalui transportasi murah. Salahkah jika dari subsidi yang lebih dari Rp 1,200 000 itu dialokasikan Rp 100 000 sebulannya bagi penduduk miskin?

DR Jusuf Kalla ceplas-ceplos mengedepankan teori saudagarnya: Harga BBM harus naik. Kalau harga BBM tak naik, yang menikmati subsidi itu ialah yang banyak mobil dan yang pakai AC.

Teori konyol ini mengingatkan kita kembali pada Menteri Pasar Rumput Mari Pangestu yang mengarang teori 'operasi-pasar' bohong-bohongan:
Saya tidak bisa menurunkan harga selain dari memberi subsidi bagi orang miskin, dan untuk itu saya pribadi harus turun ke Pasar Rumput - di Jakarta, Indramayu, Surabaya dll untuk membagi-bagikan sembako bersubsidi tapi bagi yang sangat miskin saja. Padahal Menteri ini
dengan mudah bisa menurunkan harga seperti biasanya dengan menambah supply, namun tidak boleh dilakukannya karena harus membantu usaha benalu BULOG memiskinkan para petani. Minyak goreng juga harus saya subsidi bagi orang miskin. Padahal Mari Pangestu bisa dengan gampang sekali menambah pasokan (Indonesia adalah producer CPO terbesar di dunia). Tapi, oleh karena telah menjadi SatPamnya Eka Tjipta -rajanya minyak goreng- yang mengambil kesempatan dari melonjaknya harga CPO dan minyak goreng di pasar dunia- Menteri Pasar Rumput ini dipaksa oleh bossnya untuk membatasi pasokan dalam negeri.

Ketiga ahli-ahli ekonomi di atas tadi tidak menyadari dan sama sekali tidak mengerti, mengapa kenaikan harga BBM harus mereka selewengkan dan lepaskan dari prinsip dan hukum ekonomi harga yang lazim, tapi mendasarkannya melulu pada harga minyak dalam pasar internasional di Malaysia, Thailand, Amerika Serikat dsb dsb.

Sebab, pembentukan harga minyak atau barang apa saja pada setiap negara berlangsung mandiri dengan sstem dan struktur harga domestik masing-masing tanpa pernah ada hubungan satu sama lain. Kalaupun dalam teori perdagangan internasional, pernah dilakukan perbandingan antara harga barang-barang domestik yang satu dengan harga-harga domestik yang lain, tindakan sedemikian terbatas hanya pada usaha untuk memperoleh tingkat kurs mata uang dalam hubungan transaksi valas antar-negara. Tapi tindakan seperti itu tidak pernah dilakukan dan dipertimbangkan dalam memperbandingkan harga minyak atau satu persatu harga barang lain, baik yang ditransaksikan apalagi yang tidak ditransaksikan antar-dua negara. Jadi, perbedaan harga minyak di Indonesia dengan harganya di Malaysia atau Thailand sama sekali tidak menjadi tolok ukur apa-apa bagi suatu tindakan atau peraturan untuk menaikkan harga BBM seperti yang dinyanyikan Budiono.

Apakah subsidi yang sebenarnya fiktif saja dinikmati para pemakai BBM di Indonesia akan turun atau diturunkan Budiono, sekiranya nanti harga minyak turun menjadi $90 per barrel, dan apakah harga BBM di Indonesia akan sekaligus diturunkan Budiono dan dalam pada itu subsidi APBN akan diturunkan pula oleh Sri Mulyani?

Bagaimana harga BBM akan diturunkan apa tidak, jika kurs Rupiah menjadi Rp 10 000 atau Rp 7 000 per dollar? Kan menurut Budiono perubahan kurs dan dengan demikian perbandingan antara harga BBM dalam negeri Indonesia dan harga BBM di Thailand atau Laos akan langsung berubah dan diubah Budiono?

Begitu pula, tidak ada hubungan BLT dengan subisidi fiktif yang seolah-olah dinikmati para pemilik mobil ber-AC dan motor. Subsidi BLT berlangsung bukannya diambil dari dana subsidi fiktif tadi seperti yang dikemukakan Jusuf Kalla dan Chatib dinikmati oleh para pemilik mobil dan motor, tapi langsung dikeluarkan dari APBN. Menurut Sri Mulyani subsidi tersebut dialokasikan sebagai dana kompensasi bagi orang miskin, walaupun makna kompensasi tersebut ditukang-tukangi berbeda dari arti lazimnya. Apalagi, BLT sendiri melanggar prinsip dan hukum ekonomi karena bantuan tersebut baik dari segi sosial dan lebih-lebih dari sudut ekonomi merupakan tindakan tolol dan keliru total.

Jika harga BBM tidak dinaikkan BLT tidak akan diberikan sebagai bantuan bagi fakir miskin. Artinya, golongan miskin yang memperoleh BLT tidak pernah dipedulikan Sri Mulyani sebelumnya. Kenapa justru sekarang orang miskin tersebut tiba-tiba menarik perhatian Sri Mulyani untuk diberikan kompensasi seolah-olah mereka tiba-tiba saja ditimpa kemalangan. Dan mereka sendiri dan bukan korban langsung dari kenaikan harga BBM. Sedang korban langsung dari kenaikan harga BBM, yakni para nelayan, pemakai jasa transport, perusahaan transport dan industri serta PLN dll tidak diberi kompensasi? Penderitaan korban langsung ini sama sekali dicuekkan dan dicoret begitu saja dalam catataan Sri Mulyani, asalkan difisit APBN-nya bisa ditutupinya dengan kenaikan harga BBM, walaupun bukan seluruhnya tapi sebagiannya saja. Ini artinya, Sri Mulyani -ahli fiskal pura-pura ini- hendak berdansa gembira ria diatas kerangka derita rakyat.

Sri Mulyani sama sekali tidak menyadari bahwa dampak negatif makro ekonomi dari keseluruhan subsidi APBN (termasuk BLT) -yang terutama ditimbulkan oleh keharusannya memberi subsidi bantuan triliunan Rupiah bagi bandit-bandit tengik Pertamina- yang sedemikian besarnya hingga justru menciptakan kemiskinan yang lebih parah lagi bagi rakyat seluruhnya, termasuk si penerima BLT sendiri.

Menurut hukum ekonomi-makro: Memperbesar subsidi seperti yang dilakukan Sri Mulyani, berarti memperluas konsumsi aggregate yang pada gilirannya otomatis akan menurunkan investasi aggregate. Turunnya investasi tersebut akan mengakibatkan penurunan produksi nasional dan pendapatan nasional yang berarti pula bahwa kemiskinan rakyat justru akan lebih diperparah lagi . terkecuali PERTAMINA.

Deficit-financing bagi negara-negara berkembang timbul bila dalam keadaan ekonomi terpuruk Pemerintah mereka harus melakukan tambahan investasi. Tapi deficit-financing APBN Indonesia timbul terutama karena Sri Mulyani harus memberi bantuan subsidi bagi Pertamina, yang ternyata hanya subsidi palsu dan terselubung bagi Pertamina supaya perusahaan tersebut dapat meraub laba untuk dibagi-bagikan kesana kemari.

Mengapa Pertamina Bajingan dan Lintah Darat Penghisap darah Rakyat Miskin?

Teori permintaan di satu pihak sedianya dapat menjelaskan perilaku para konsumen bagi produk Pertamina. Dapat disebutkan empat faktor fundamental yang menentukan berapa banyak barang yang akan dibeli oleh konsumen tersebut.

Pertama-tama adalah harga barang dari tiap komoditi yang dibeli. Determinan kedua adalah besaran pendapatannya. Faktor ketiga adalah struktur harga-harga barang-barang substitusi. Dan keempat adalah kurva permintaan si konsumen yang bergerak berlawanan arah dengan harga barang-barang komplemeter dari produk Pertamina.

Namun, tidak perlu menyimak seluruh ke-empat faktor penentu dari demand tadi bagi produk Pertamina dan cukup membatasinya pada tingkat pendapatan yang mendasari permintaan. Dalam hubungan ini dengan singkat dapat dikemukakan, bahwa akan lebih tepat dan adil, jika kenaikan harga BBM di Indonesia sekarang ini dibatasi pada kenaikan harga BBM bagi yang berpendapatan tinggi saja tanpa menaikkan -bahkan menurunkannya- bagi yang berpendapatan rendah. Maksudnya, supaya mereka yang memiliki mobil mewah dengan mesin 2000 cc atau lebih dikenakan harga BBM 200-300%, sedang avtur bagi maskapai penerbangan domestik dikenakan harga 300% sambil sekaligus mempromosikan angkutan laut dan darat yang sekarang ini dalam keadaan morat marit sambil menambah penerimaan APBN sendiri..

Di lain pihak dalam meneliti supply produk Pertamina analisis kita lebih berpihak pada prinsip dan teori harga berdasarkan ongkos-ongkos produksi. Dalam teori supply tersebut yang paling utama disimak seorang ekonom mengenai suatu perusahaan adalah ongkos-ongkos yang berdampak atas harga-harga relatif dari barang-barang dan alokasi jasa-jasa produktif bagi berbagai perusahaan dan industri. Dalam hubungan ini penjelasan harga-harga termaktub dalam teori ongkos-ongkos alternatif atau yang juga dikenal sebagai 'opportunity costs'. Yaitu, ongkos-ongkos suatu faktor produksi X dalam produksi komoditi A disadur dari jumlah maksimal dari produksi komoditi B, C, D dll. Bila ongkos modal di sektor lain dapat memberi laba 10%, maka yang 10% itulah ongkos modal di sebuah pabrik tekstil. Bila 1 Ha tanah menghasilkan 5 ton padi, maka itulah ongkosnya untuk tanaman tebu dalam 1 Ha. Dalam hubungan ini perlu diperhitungkan juga bahwa ongkos produksi tergantung juga dari harga barang permintaan. Sebab, tidak mungkin menentukan ongkos (uang) dari padi sebelum kita ketahui harga tebu. Semakin tinggi nilai produksi alternatif B, C. dll dari suatu jasa faktor produksi tertentu, maka semakin tinggilah ongkosnya dalam memproduksi A. Dengan ini berlakulah hukum ekonomi yang mengatakan bahwa ongkos factor X dalam produksi komoditi A sama dengan nilai nilai produk-marginal X dalam produksi B, C, dll. Penting pula diperhatikan definisi dari 'production function' yang menentukan hubungan antara 'input' dari jasa-jasa produktif dan 'output' produksi per unit waktu. Production functions menjabarkan teknologi atau sitem organisasi dari jasa-jasa produksi, yang diperoleh dari disipilin ilmu lain seperti engineering dan industri kimiah, tapi menjadi data analisis bagi seorang ahli ekonomi perencanaan atau pengamat ekonomi. Bila 1 Ha tanah -dengan bantuan kerjasama dari unit-unit lain yang cocok dan selaras dapat menghasilkan 5 ton padi, maka 1/5 merupakan koeffisien produksi dari type tanah yang menghasilkan padi seperti itu.

Dengan penjelasan teori harga yang singkat di atas ini hendak dikemukakan bahwa kemajuan dari sebuah perusahaan tergantung dari manajemen yang menguasai serta memegang teguh pada teori harga, permintaan dan penawaran beserta implikasi dan komplikasinya yang dihadapi setiap perusahaan., tidak terkecuali Pertamina. Namun perusahaan ini jauh dari manajemen seperti itu.

Lihat saja kemajuan Pertamina yang jauh ketinggalan dari prestasi yang dicapai Petronas. Dengan kekayaan sumber minyak kita yang begitu besar, Pertamina sedianya bisa meraub laba yang sangat besar dan seyogianya merupakan sumber pembiayaan investasi utama di Indonesia. Namun dana investasi yang diraih Pertamina berlangsung dan dilangsungkan oleh dan di dalam dunia Pertamina sendiri saja demi dan untuk perusahaan itu sendiri. Dana investasi tersebut bukan tersalur dalam saluran 'communicating sectors', di mana Pertamina yang menjadi sektor dana surplus-investasi tidak merupakan sumber bagi tersalurnya surplus-investasiny a tadi pada sektor yang deficit savings dan investasi pada sektor ekonomi lainnya yang menghadapi defisit tadi, yang sekalipun menjanjikan hasil yang jauh lebih tinggi dari perluasan investasi baru yang dijalankan Pertamina. Ini berarti bahwa 'opportunity costs' dari investasi baru dari Pertamina, katakan saja dalam rumah sakit bintang-10, hotel-hotel, atau perusahaan asuransi dll yang dilakukan Pertamina menciptakan ongkos produksi yang lebih tinggi berdasarkan hasil yang sedianya bisa diperoleh oleh sebuah industri dalam sektor yang minus dalam dana investasi.

Alhasil, seperti yang kita saksikan berlangsung selama ini, Pertamina menjadi salah satu kendala utama dalam menciptakan 'communicating sectors' (communicerende vatan) dalam perekonomian Indonesia.

Pada dasarnya, melonjaknya harga minyak mentah menjadi $120 per barrel seharusnya menjadi sorga dan bukan neraka bagi Indonesia. Indonesia yang menjadi net-exporter minyak mentah seharusnya memperoleh valas yang sangat besar jumlahnya dengan tingginya harga minyak mentah menjadi $120 per barrel, tapi tidak dapat diraihnya karena kebuta-hurufannya atas sistem sterilisasi valas-$ dan membiarkan perusahaan asing dan Pertamina serta Medco memperoleh windfall profits sepenuhnya yang sangat besar dari naiknya harga crude oil menjadi $120 per barrel.

Kerugian kecil bisa terjadi bagi Indonesia, karena Indonesia menjadi net-importer BBM. Namun kerugian inipun bisa dengan mudah ditutupi dengan windfall profit tadi serta melalui sistem-sterilisasi tadi.

Kesimpulannya: sama sekali tidak mungkin timbul malapetaka minyak bagi Indonesia. Yang menjadi masalah Indonesia adalah banditry yang berkecamuk dan merajalelai Pertramina.

Kebobrokan perkembangan Pertamina sangat unik sekali. Staf dan karyawan Pertamina menggelembung sangat luas dengan operational costs yang menggelembung dengan sendirinya, namun Pertamina menikmati kemakmuran luar biasa, baik dalam penggajian, pensiun milyaran rupiah maupun dalam fasilitas-fasilitas luks lainnya.Pokoknya, tidak ada duanya kedudukan anak -mas Pertamina dalam segala hal. Pembukuan Pertamina tidak pernah boleh diketahui Pemerintah atau di-audit oleh siapapun. Untuk itulah diperoleh jasa-SatPam dari Purnomo Yusgiantoro dan Sofyan Djalil. Pemerintah juga dikelabui oleh oligarki pensiunan Pertamina yang dapat semau gue mendirikan ratusan anak perusahaan yang melakukan over-charge dan mark-up ongkos-ongkos yang dibebankan pada Pertamina tanpa gangguan dari siapa pun.

The funniest part of it all, Pertamina sanggup menggelumbungkan ongkos-ongkos produksi dari kilang-kilang minyak nya yang sedemikian tingginya, hingga harus disubsidi APBNnya Sri Mulyani tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu atas penggelembungan ongkos-ongkos produksi Pertamina. On top of it all, Pertamina setiap tahun bisa meraub untung raksasa yang seenaknya dibagi-bagikan ke sana ke mari. Ketololan ahli fiskal Sri Mulyani terbukti sudah, karena begitu saja menyediakan subsidi BBM tanpa pernah terlintas pada benaknya kejadian-kejadian janggal yang diperhadapkan keuletan Pertamina menciptakan dirinya menjadi benalu tahunan atas rakyat Indonesia, yang hanya memperoleh remah-remah dari kue nasional yang dinikmati Pertamina sama seperti benalu-benalu lainnya, Bank Indonesia dan BULOG.

Bayangkan:
  • Semua Dirut Pertamina kaya raya ala baron-minyak Texas
  • SDmua kaca mata yang dipakai staf dan karyawan Pertamina gratis
  • diperoleh dari rumah sakit Pertamina.
  • Uang pensiun dari Pertamina bisa membeli 2-3 rumah luks dan para
  • pensiunan diaktifkan kembali dalam ratusan anak-perusahaan yang
  • diciptakan Pertamina.
  • Pertamina bisa menjual seenaknya tanker raksasa yang sudah siap pakai
  • Pertamina mengangkat Menteri Budiono menjadi Komisaris untuk
  • mencicipi gaji buta jutaan Rupiah dari Pertamina
  • Pertamina mengangkat Jendral Endriartono Sutarto -teman dekat SBY-
  • menjadi Komisaris Utama
  • Pertamina menghadiahka rumah luks bagi Prof. Emil Salim
  • Semua fasilitas tersebut, ujung-ujungnya terpulang pada subsidi APBN-
  • nya Sri Mulyani.

Sungguh tidak mengherankan lagi mengapa Pertamina bisa memakai dua Menteri -Purnomo Yusgiantoro dan Sofyan Djalil menjadi SatPam-nya Pertamina. Di mana di dunia ini ada perusahaan minyak yang memperalat satu apalagi dua Menteri, yang dipakai melulu dan tidak lain dan tidak bukan untuk mempertahankan Pertamina sebagai bandit-bandit 'Al Copone' yang sangat bermurah hati? Pertamina seharusnya dipecah dan dibubarkan untuk dijual pada pihak swasta.

Di mana ada Bank Sentral seperti BI yang Gubernurnya masuk penjara; yang digantikan oleh Budiono yang tidak tahu apa-apa mengenai ilmu moneter; yang Dewan Gubernurnya menciptakan secara kolegial sebuah Yayasan Dana Uang Sogok Rp 100 miliar. Seyogianya BI harus di-retool secara total dan radikal, sedang dalam pada itu Budiono sendiri harus dipecat.

Di mana ada Menteri Keuangan yang menaikkan harga BBM demi kesejahteraan perusahaan-minyak tapi yang menyengsarakan rakyat dan membagi-bagikan bantuan BLT yang dilindungi Menteri Dalam Negeri dan Kapolri? Seyogianya Sri Mulyani harus rela berhenti atau terpaksa diberhentikan.

Sungguh benarlah Republik ini sudah TERKUTUK menjadi Negara Bego.

Namun, siapa bilang Rakyat Indonesia dan para demonstran anti kenaikan harga BBM bisa dan mau diperlakukan sebagai sudah bego juga?
NEVER, NO NEVER!!!

26-5-2008 hmt oppusunggu

--
Thank You and Best Regards,

Natal Hutabarat
GSM/UMTS Core Network Engineer


NB :Tulisan ini dikirim di e-mail kami beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM.

Indienesia

Judul di atas merupakan penggabungan kata indie dan Indonesia. Tepat sekali kawan, di tulisan ini kita akan berbicara tentang scene musik Indie di Indonesia.

Indie berasal dari kata independen, dan independen itu adalah merdeka atau berdiri sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa scene Indie dilahirkan oleh komunitas Punk pada pertengahan 1970-an. Dimana pada saat itu, hampir semua band-band Punk ditolak mentah-mentah oleh kaum Major Label dengan alasan lagu yang bersifat non-komersil. Sehingga mereka-pun berinisiatif membuat label sendiri dengan semangat D.I.Y. (Do It Yourself). Begitu-pun dengan produk-produk merhandise mereka, yang membuat mereka menjual dengan cara sendiri. Inilah yang menjadi cikal-bakal Distro (Distribution Store). Dan sampai hari ini masih banyak band-band Punk diluar negeri sana yang eksis dengan indie labelnya seperti NOFX, Propagandhi, Descendents(Fat Wreck Chords), Anti-Flag (A-F Records), dll.

Tetapi menurut Djoko Moernantyo, pada tahun 1920-an di Amerika saat itu dikuasai oleh Label-label besar seperti Columbia, Edison, Victor, ARC, dll. Perusahaan-perusahaan kecil (indie label) yang merasa termarjinalkan oleh keadaan itu, terus berusaha menyeimbangkan keadaan. Paramount, Okeh, Vocalion dan Black Patti, adalah beberapa di antaranya. Dan kaum mainstream-pun dibuat kewalahan oleh sepak terjang perusahaan-perusahaan kecil ini. Edison turun derajat ke radio, Columbia diambil oleh CBS, dan Victor yang dikuasai raksasa baru RCA. Dan dua dasawarsa ke depan, terjadi transfer situasi yang memungkinkan siapa saja untuk bermain. Dan pada tahun 1940-an, peluang para indie label kembali menciut setelah kembali didominasi oleh para raksasa seperti Columbia, Victor, MGM, Capitol dan Mercury.

Kembali ke Indonesia. Di Indonesia sendiri, di sekitar tahun 70-an band-band seperti God Bless, AKA, Giant Step, Super Kid dari Bandung, Terncem dari Solo, dan Bentoel dari Malang sudah mendeklarasikan bahwa mereka adalah band underground. Informasi itu terdapat di majalah Aktuil terbitan 1971. Di majalah itu diberitakan bahwa terdapat Underground Music Festival yang diadakan di Surabaya. Terdapat kompetisi antar band yang diwakili God Bless dari Jakarta, Giant Step dari Bandung, Terncem dari Solo, dan Bentoel dari Malang. Inilah yang merupakan cikal bakal scene Indie di Indonesia.

Sekitar 20 tahun kemudian yaitu pada tahun 1993, Pas band merilis album mereka yaitu For Trough The S.A.P. yang terjual sebanyak 5000 kopi mempunyai dampak yang sangat besar untuk scene Indie Indonesia. Sepertinya Pas Band-lah yang mempopulerkan Indie Label ini. Tapi album Pas band bukanlah album indie pertama di Indonesia. Dan menurut Deny Sakrie, Guruh Gipsy-lah yang mungkin merupakan album indie pertama di Indonesia yang dirilis pada tahun 1976.

Sejak terjualnya 5000 kaset mini album For Trough The S.A.P. dari Pas Band, scene Indie di Indonesia terlihat sangat bergairah menyambut budaya pemberontakan ini. Di saat Iwan Fals, dan Slank memperlihatkan eksistensinya, band-band Indie seperti Pure Saturday, Puppen, Waiting Room, dan yang lainnya mencoba untuk memperlihatkan eksistensinya lewat jalur Indie Label.

Bagaimana dengan Makassar???

Scene Indie di Makassar muncul di sekitar tahun 1993. Pada waktu itu, om Ichal membentuk Sex Punk. Dengan mengandalkan bazaar-bazaar musik, band Punk dengan humor sarkastik lokal ini berhasil eksis sampai hari ini dan telah melahirkan album seperti Punk Kampung (2005). Band Punk sekitar Sulsel-pun turut memeriahkan scene Indie di kota kita ini dengan bermunculannya The Hotdog, The Hendrikx, Total Riot, dan salah satu band Hardcore tertua di Makassar yaitu Cruel Rebel Core. Dan di tahun 2000-an, nafas scene Indie Makassar semakin terasa. Dengan dukungan dari radio-radio lokal melalui siaran-siaran khusus Indie Label, band-band Indie di Makassar bertambah populasinya hingga hari ini. Sebut saja seperti Loe Joe, Fosil, Fuddy Duddy, Harakiri, The Gameover, B-Five, dan The WR merupakan sedikit dari ratusan bahkan ribuan musisi-musisi Indie Makassar.

Era modern merupakan salah satu faktor perkembangan scene Indie di Indonesia. Terutama media dunia maya seperti Internet (International Network). Situs-situs seperti Myspace, Blogspot, dan lainnya memudahkan musisi Indie mempromosikan dirinya ke daerah lain. Dan kehadiran toko baju kapitalis berkedok Distro, memudahkan pendistribusian karya-karya para pelaku Indie Label.

Terakhir, band-band indie yang direkrut oleh Major Label seperti Pas Band (Aquarius), Suckerhead (Aquarius), Superman id Dead (Sony), Shaggy Dog (EMI), dan The Upstairs (Warner Music) merupakan suatu tanda bahwa indie berpotensi besar menjadi musik mainstream baru. Belum lagi ancaman dari salah satu produsen handphone yang membuat Club Artis Independen yang membuat kita menjadi VIP Member setelah memiliki Handphone produksinya. Tetapi semua itu saya kembalikan kepada teman-teman pelaku Indie, dan saya menghimbau Jangan sampai karya-karya kita dipolitisir oleh kaum mainstream. SUPPORT MAKASSAR INDIE...(Nono)

14 April 2008

Subkultur Punk Makassar: Kreatifitas Subversif

Oleh: Mh. Nurul Huda (co) dan Syamsurijal Adhan

Kebanyakan orang memandang sebelah mata. Berbagai label miring seperti biang hiruk pikuk dan kekacauan pun kerap melekat pada diri mereka. Tapi komunitas punk yang tersebar di kota Makasar ini tetap bergeming. Kata mereka, punk adalah simbol perlawanan kaum marginal.

Tak sulit rasanya mengenali kaum punker ini. Model kepala berambut jambul ala Mohawk dengan cat warna-warni, kadang dicukur licin ala skin head dengan tatto menghiasi kepala. Bukan hanya itu, wajah dan kepala mereka dihiasi dengan pearcing, tindik dan flug (sejenis tindik tapi lubangnya lebih besar), dan kulit muka, telinga, serta bibir mereka dipenuhi deretan peniti. Penampilan khas inipun masih dilengkapi dengan aksesoris rantai sebesar jari di leher, celana jeans belel, dompet dengan rantai panjang menjuntai, dan tentu saja tatto yang menempel di sekujur tubuh mereka.

Di kota ini, scene punk, demikian komunitas punk Makasar ini menyebut dirinya, hidup berkelompok di sejumlah tempat. Seperti di Sungai Saddang, Losari, Maccini, Karuwisi, dan Ablam. Sebagian di Sungguminasa, Sidrap, Soppeng, Pare-pare dan beberapa tempat lain di luar Makassar. Mereka memang berbeda dari komunitas lain, karena disatukan oleh sebuah kultur yang berbeda pula. Kelompok ini memiliki semacam ritual, kebiasaan, kegiatan rutin atau pertunjukan bersama antar sesama punk yang membuat mereka layak disebut sebagai sebuah subkultur. Di Makasar para punker menyebut segala aktifitasnya ini dengan sebutan “Underground No Control-Makasar”, dan “Underground Karung Beras” bagi para punker di Sidrap, Soppeng dan Pare-pare.

Persepsi keliru

Bagi masyarakat Makasar, komunitas punk sudah tak asing lagi. Namun sayangnya, persepsi tentang punk rupanya banyak diwarnai oleh anggapan keliru. Punk hanya dikenal dari warna musiknya yang keras, dari Sex Pistols, The Clash, hingga The Worst, dengan beberapa lagu mereka yang terdengar sinis seperti If You don’t Want Fuck Me, Fuck Of atau I Wanna be Sick on You.

Coba simak pernyataan salah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi Islam di Makasar ini. “Penampilan mereka hanya sekedar gaya, temporer saja,” ujar Muh Ibnu, sang dosen. Beberapa koleganya juga menandaskan “punk hanya gaya anak muda, mengikuti perkembangan zaman, seperti kami yang dulu menyukai celana boggie atau cut bray”.

Dalam kehidupan sehari-hari persepsi keliru terhadap komunitas punk ini seringkali juga dilengkapi dengan pandangan tak mengenakkan. Penampilan mereka yang apa adanya, berbeda dan bahkan bertentangan dengan kecenderungan umum masyarakat kota yang teratur tapi monoton, tertib tapi seragam, stylis dan macho tapi dikendalikan industri fashion, gaya hidup modern tapi dituntun etika kapitalisme, dan polesan tubuh yang memesona tapi penuh topeng kepalsuan; membuat keberbedaan punk dinilai sebagai pelanggaran norma, pengacau, atau biang keributan. Bukan sekadar “yang lain”, tak jarang keberadaan mereka diawasi aparat keamanan lantara dicurigai berpotensi kriminal.

“Di sini kalau anak-anak punker lagi ramai, sering datang aparat berpakaian sipil, nanya-nanya ada kegiatan apa, kok ramai-ramai,” tutur Uga yang melihat dari perawakan dan sikap orang itu tak diragukan menyerupai petugas intel.

Kreatifitas

Persepsi miring dan cenderung negatif ini jelas tak seluruhnya benar, apalagi bila kita menyelami kehidupan dan prinsip-prinsip hidup yang diyakini komunitas punk. Anggapan Lomba Sultan yang dekan fakultas syariah IAIN Makasar itu, misalnya, bahwa punk lahir dari keluarga yang broken-home, langsung dipatahkan oleh para punker sendiri.

Sebut saja Adi (nama samaran), misalnya. Seorang anak anggota dewan di kota ini yang tumbuh besar dari keluarga cukup baik. Ia bergabung dengan komunitas punker lantaran ia bisa bebas berkreasi dan memperoleh penghargaan lebih dari teman-temannya. “Di sini saya bisa mengembangkan kemampuan menggambar saya, kalau bagus diambil jadi desain baju,” ujarnya.

Bukan hanya sosok Adi, banyak para punker justeru berasal dari keluarga harmonis. Dekat dengan orang-orang tercinta. Bagi mereka menjadi punker menjadi semacam pilihan. Sebuah pilihan untuk berbeda, kadang melawan arus. Agar hidup bermakna dan lebih kaya.

Kreatifitas dan kejujuran. Prinsip inilah rupanya yang dikembangkan oleh para punker Makasar. Adi dan para punker lain juga berupaya mengembangkan kemampuan, berolah kreatifitas. Dari mendesain baju dan kaos, sampai menekuni olah vokal dan jenis musik dalam bermacam-macam grup band. Tercatat ada puluhan band yang kini dikelola oleh komunitas punker. Seperti band Marginal, Accidental Killing, Permen Karet, The Hendriks dan band-band “underground” lainnya.

Karena itu amatlah keliru bila mengelompokkan kaum punker ini ke dalam kelompok anak-anak jalanan, pemalak, biang kekacauan dan bikin huru-hara. Mereka juga bukan anak muda yang sekadar gaya-gayaan atau ikut-ikutan.

Kultur subversi

Sebaliknya, ada kultur yang dibangun atas dasar kesadaran. Busana dan gaya hidup punk bukan hasil rayuan fashion yang memesona, tapi semacam subversi dan ejekan terhadap dunia fashion sendiri. Busana mereka adalah “busana konfrontasi”, dalam istilah Vivien Westwood. Dengan busana, kaum punker berteriak tentang sinisme dan perlawanan.

“Kita mau bilang, fashion itu dunia yang diciptakan. Kita bisa menerima atau menolak,” ujar Budi.

Sebenarnya para punkers inipun menyadari gaya mereka telah dikomodifikasi. Namun kata Killy, seorang punker yang sahabat dekat Budi, hal itu justru menuntut kreatifitas untuk terus menerus memproduksi gaya baru. “Karena tindik dan piercing sudah jadi trand setter, kita bikin lagi belah lidah, mas. Lebih ekstrim,” kata Killy yang seolah hendak menandaskan peran dirinya sebagai produsen budaya.

Ya, sebuah budaya, kultur. Tepatnya, subkultur punk! Sebuah kelompok yang amat berbeda dengan gejala lain di perkotaan. Bukan sebuah gaya hidup yang lahir layaknya hobby. Bukan pula kelompok yang antisosial, individualistik, dan impersonal yang menggejala di kota-kota. Sebaliknya, mereka justru menghalangi laju komodifikasi dan industrialisasi yang membuat manusia teralienasi dari diri dan tubuhnya sendiri. Lirik-lirik lagu, seperti Aparat Keparat, Hate Government, Merdeka tapi Tak Nyata dari kelompok musik Bugs dan lainnya, jelas terdengar mewakili suara perlawanan ini.

Berbeda dengan karakter masyarakat kota, para punker ini justru aktif bergiat dalam bidang sosial.

Budi, salah seorang punker, misalnya, menuturkan setiap bulan Ramadan kelompoknya melakukan buka puasa bersama dengan kalangan lain yang tak mampu dan anak-anak jalanan. Hebatnya lagi, para punker ini pun menggelar pendidikan alternatif. “Sungai Saddang Street School” namanya, sekolah yang diperuntukkan bagi anak jalanan di sekitar Sungai Saddang.

Demikianlah kultur punk, berlawanan dengan asumsi umum, adalah simbol perlawanan, kreatifitas sekaligus kepedulian. Slogan “No Rule, No God, No Master” menjadi bagian ekspresi kultur mereka yang subversif atas kultur komodifikasi dan industrial kota yang kaku dan mengalienasi.

Sayangnya, keluar dari mainstream selalu dipandang aneh, kelainan sosial, kegilaan, bahkan biang kekacauan. [Liputan: Syamsurijal Adhan]

*Dimuat di Harian Fajar Makasar, Rabu, 28 Februari 2007. Hasil kerjasama Yayasan Desantara, LAPAR Makassar dan Harian Fajar Makassar

Sumber : http://nurulhuda.wordpress.com

Bila Perkawinan Punkers Berlangsung ala Adat Bugis

Oleh: Mh. Nurul Huda (co) dan Syamsurijal Adhan

Tak seperti biasanya, siang itu, sebuah upacara perkawinan yang digelar di Teteaji, Sidrap menyedot perhatian warga sekitar. Tak hanya dihadiri para undangan, laki dan perempuan baik dewasa maupun anak-anak pun ikut menyemut di sekitar rumah Uga, sang pengantin perempuan.

Uga, gadis manis di kampung ini, sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang pemuda yang amat dicintainya. Budi, nama pria itu. Berwajah ganteng dan bertampang keren. Tapi, bukan keserasian pasangan itu yang memancing antusiasme para warga. Budi adalah seorang punker tulen..

“Warga mau tau, gimana perkawinan seorang punker sejati dengan cewek yang keluarganya teguh memegangi tradisi,” tutur Uga yang keturunan bangsawanan Bugis ini.

Benar. Ketika iringan pengantin datang, warga betul-betul dibuat kagum. Budi tidak menanggalkan atribut dan identitasnya sebagai punker. Piercing dan tindik tetap menghiasi bagian tubuhnya. Tak lupa sepatu bot yang khas membungkus kedua kakinya.

Uniknya, Budi rela membalut tubuhnya dengan pakaian pengantin ala adat kerajaan Bugis. Jas tutup, sarung bugis dan songkok tutup kepala khas Bugis. Ia pun membawa berbagai erang-erang, barang bawaan pengantin laki-laki berisi pakaian perempuan dan cincin kawin yang diletakkan di ujung paruh burung yang terbuat dari kain sarung. Mengiringi sang penganting, beberapa orang tua berpakaian adat. Tapi yang lebih mengundang senyum para warga adalah kehadiran puluhan para punker beratribut lengkap yang ikut mengiringi sang calon pengantin.

“Saya harus bisa negosiasi dengan aturan adat yang penting, tapi bukan berarti identitas itu kita lepas,” ujar Budi menimpali penuturan sang istri.

Apa yang dituturkan Budi bukan sekedar ungkapan retoris. Bagi Budi, perlu pejuangan panjang untuk memperoleh restu calon mertuanya yang teguh memegangi tradisi Bugis. Bahkan katanya perkawinan bisa kandas bila ia tidak pandai-pandai mengambil hati si calon mertua. Maklum, ayah Uga sempat meminta Budi meninggalkan dunia punk yang digelutinya.

“Boleh Pak. Saya akan keluar dari punk tapi saya tidak menjamin bisa memberi makan anak bapak,” ujar Budi setengah menggertak. Setelah berdialog panjang, rupanya orang tua Uga pun mulai mengalah dan menerima Budi apa adanya. “Asal dalam proses perkawinan pengantin laki-laki harus mengikuti beberapa prosesi adat,” ujar Uga menirukan ucapan ayahnya. Akhirnya antara kedua belah pihak pun tercapai kata sepakat.

Keteguhan punker yang tetap berada di luar jalur mainstream ini menarik disimak. Bagi punker macam Budi ini, praktek alienasi bukan hanya oleh kapitalisme industrial, tapi juga belenggu adat. Namun perlawanan itu tidak bisa dilakukan secara frontal. “Kondisi di Jakarta berbeda dengan Makasar-Bugis, adat di sini masih kental. Norma-norma yang membelenggu harus dilawan tapi dengan cara negosiasi,” tandas Killy, seorang punker yang baru dua minggu mudik dari Jakarta ini.

Punk dan tradisi lokal

Strategi perlawanan punker Makasar-Bugis nampak berbeda dengan pemberontakan punk yang selama ini diangkat dalam berbagai tulisan. Pemikir Cultural Studies semacam Hebdige, Hall dan Jeferson lebih banyak mengangkat perlawanan komunitas punk terhadap kelompok kelas menengah-atas. Punk hadir dalam kontradiksinya dengan gaya dan kebiasaan kelas menengah. Rambut klimis tersisir rapi dilawan dengan model mohawk. Tubuh bersih dengan pakaian rapi dilawan dengan tubuh penuh tatto, pearcing, tindik dan pakaian acak-acakan. Musik jaz dan musik klasik dikontraskan dengan musik punk yang hinggar-bingar dengan lirik-lirik sinis. Dengan demikian ada garis batas tegas yang membelah antar kelompok-kelompok sosial ini.

Kondisi berbeda rupanya dihadapi komunitas punk Makasar-Bugis. Mereka tidak sekedar bergumul dengan kapitalisme dan komodifikasi, tapi juga tradisi lokal dimana mereka hidup di dalamnya. Kondisi-kondisi inilah nampaknya yang membuat mereka membangun strategi yang lebih negosiatif dan adaptif ketimbang perlawanan totalnya.

Hal ini terlihat, misalnya, dalam lirik lagu-lagu para punker. Menurut penuturan Malik, seorang punker yang masih tercatat sebagai mahasiswa UIN Alauddin ini, para punker kerap menggunakan lagu-kagu Bugis dalam pertunjukan atau album-album mereka. Namun tentu saja, katanya, lagu-lagu itu berlirik perlawanan dengan diiringi warna musik yang hinggar-bingar.

Mungkin karena kemampuan mereka menempatkan diri ini yang membuat Spart-Toys di Sungguminasa bisa eksis dan bertempat di belakang Balla Lompoa. Bahkan tempat mereka biasa mangkal menjadi bagian dari rumah adat Gowa itu.

Sumber :http://nurulhuda.wordpress.com

04 Februari 2008

Makassar Diskriminasi

Makassar sebagai kota terbesar ke-3 di Indonesia ini perlahan menjelma menjadi kota metropolitan. Dimana gedung-gedung tinggi bertambah tiap tahun, wajah kota yang mempercantik keberadaannya, fasilitas yang semakin memadai, serta keadaan dimana hedonisme dan vandalisme perlahan-lahan menyatu dengan masyarakat. Keadaan tersebut menyertai perkembangan zaman di kota ini yang mengakibatkan kota ini ramai dikunjungi bahkan dijadikan tempat tinggal oleh saudara-saudara kita dari tempat lain khususnya bagian Timur Indonesia seperti Maluku, Papua, Nusa Tenggara, hingga Kalimantan. Banyak dari mereka yang memilih Makassar sebagai tempat persinggahan, entah mereka hanya mengunjungi ataupun tinggal karena alasan pekerjaan atau pendidikan. Dapat dibuktikan berdasarkan fakta maraknya himpunan mahasiswa dari luar Makassar di kampus-kampus dan pegawai-pegawai imigran yang ditugaskan di kota ini.

Dibalik segala keadaan yang saya sudah deskripsikan di atas, timbul suatu pertanyaan “Apakah mereka yang merantau mendapat perlakuan yang layak di kota tercinta ini????”. Dengan melihat fakta di sekitar bahwa sebagian orang-orang kulit berwarna masih mendapat perlakuan diskriminatif, khususnya orang-orang “berwarna” seperti orang berkulit hitam dan warga keturunan Tionghoa (Cina/Cokin).

Menurut saya wajar saja perilaku diskriminatif berupa rasisme ada di wajah kota Daeng ini, karena perilaku diskriminatif yang lain-lain sudah lebih dulu menghiasi kota ini. Contoh lainnya adalah para waria-waria yang biasa nongkrong di sekitar lapangan Karebosi selalu jadi korban celaan oleh orang-orang yang lewat di sekitar Kawasan Olahraga tersebut, bahkan tak jarang ada salah satu dari mereka yang dilempari batu. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa para banci-banci itu mempersenjatai dirinya dengan busur, badik, dan senjata-senjata khas Makassar lainnya. Begitu-pun dengan rakyat-rakyat kecil yang berpenampilan lusuh diberi label sebagai pencuri, penipu, dll. Apakah seperti ini perilaku-perilaku masyarakat yang didominasi oleh Muslim??? Satu hal yang kita tidak bisa pungkiri bahwa banci juga manusia, dan mereka punya yang namanya perasaan. Belum tentu para diskriminis ANJING itu lebih sempurna (dalam hal kehidupan) daripada banci-banci itu. Buktinya ada banci yang sukses bekerja untuk menopang keluarganya, dan ada pula yang ingin menjadi anggota DPR untuk memperjuangkan hak-hak dan derajat kaumnya di dalam Negara. Huhhh…… Lagi-lagi status sosial!!!!!!!!!!

Tak berbeda dengan perilaku diskriminatif lainnya, rasisme-pun ada di kota Coto ini. Sudah jelas bahwa orang yang berkulit gelap seperti orang-orang Irian, Maluku, dan NTT sering mendapat perlakuan rasis, dengan asumsi bahwa perlakuan rasisme ada di lingkungan sekitar saya. Di dalam kampus tempat saya terjebak dalam institusi pendidikan, banyak orang-orang berkulit gelap yang memburu gelar sarjana di kampus itu. Tetapi masih banyak juga dari mereka-mereka (orang berkulit gelap) yang sering jadi bahan celaan atau mungkin jadi bahan tertawaan oleh mahasiswa tertentu (rasis). Saya juga kurang mengetahui kenapa mahasiswa tertentu itu sering menjadikan orang negro Indonesia sebagai bahan celaan untuk tertawa? Mungkin orang-orang berkulit gelap tersebut terlihat lucu atau bahkan “buruk” di mata mahasiswa rasis tersebut sehingga dijadikan bahan celaan. Ironisnya, masih sedikit Mahasiswa yang ingin berteman dengan mereka (negro Indonesia). Mungkin karena itulah mereka yang berkulit gelap hanya bergaul dengan sesama ras-nya. Hahaha, ternyata kaum yang katanya intelektual itu masih ada yang rasis dengan bangsa sendiri. Mahasiswa... Mahasiswa... Ck...ck...ck...

Lain lagi dengan orang yang berketurunan Cina (Tionghoa), mungkin sebagian besar masyarakat Makassar atau bahkan Indonesia sudah muak dengan ras yang satu ini. Memang tak bisa dipungkiri bahwa ras yang satu ini memang terkenal ulet dan disiplin dalam segala hal, serta sifat yang agak sedikit anti-pribumi. Ada beberapa orang yang mengatakan Cina itu sekke’ (pelit dalam aksen bahasa Makassar), suka pattolo tolo (membodohi dalam aksen bahasa Makassar lagi), dll menurut kacamata mereka masing-masing. Saya sendiri-pun tidak menyukai segelintir ras ini, karena memang ada dari beberapa mereka yang membuat diriku muak. Kenapa?? Karena saya sudah melihat bukti nyata di sekitar lingkungan saya. Mungkin teman-teman sudah pernah mendengar bahwa di Makassar pernah terjadi penjarahan besar-besaran terhadap usaha-usaha yang dimiliki oleh warga keturunan tersebut lantaran ada seseorang dari mereka yang membunuh bocah yang pulang dari mengaji pada tahun 1996, terlibatnya 3 warga keturunan dalam kasus Narkoba pada tahun 2005, tindakan kekerasan terhadap pembantu rumah tangga pada tahun 2006, dan terakhir ditahun 2007 seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar dianiaya oleh beberapa warga keturunan Tionghoa. Itu adalah beberapa kelakuan yang menyimpang dari warga keturunan Tionghoa yang saya ketahui (melalui media massa). Bagaimana kelakuan menyimpang lain yang saya “dan mungkin anda” tidak ketahui???? Apakah anda mengetahui beberapa????

Saya kembali kepada argumen saya di atas, yaitu pernyataan dari beberapa orang yang saya jumpai bahwa warga keturunan Tionghoa itu pelit, dan suka membodohi pribumi. Menurut saya, pendapat seperti itu terlontar karena masyarakat pribumi Makassar berpikir bahwa pelit, dan sifat membodohi itu karena orang Cina menginginkan profit yang banyak di pihaknya. Pendeknya, orang Cina hanya mau untung sendiri (materi) menurut sebagian besar pribumi Makassar. Yang harus kita ketahui pertama-tama yaitu Cina merasa bahwa mereka tidak hidup di tanah nenek moyang yang mengakibatkan tingginya kemampuan bertahan hidup mereka. Oleh karena itulah sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang disiplin, ulet dalam bekerja, dan tegas di segala hal. Kedua, karena faktor yang pertama, sebagian besar Cina hidup sejahtera dan tak sedikit yang hidup mewah sementara fakta yang ada mengakui bahwa sebagian besar Masyarakat Indonesia hidup di dalam lingkaran kemiskinan. Ketika kondisi seperti ini yang terjadi, kemungkinan terjadinya kecemburuan sosial sangat besar. Ketiga, faktor pertama dan kedua mengakibatkan munculnya paradigma baru di Masyarakat bahwa orang Cina itu adalah orang yang ber-ADA, dan mereka dilahirkan sebagai orang kaya dan ber-status sosial tinggi.

Bencong juga Manusia, dan Bencong juga mahkluk Tuhan. Mereka hanya kurang benar dalam memaknai hidup. Oleh karena itu, sungguh keji jika kita merubahnya dengan sejuta caci maki dan beberapa ayunan batu. Rubah dengan pendekatan emosional, sehingga perlahan-lahan orang seperti mereka bisa memaknai hidup lebih berarti.

Hitam dan Putih memang berbeda tetapi warna itu cocok dipadukan dengan warna apapun. Kita dengan orang Hitam juga sama, hanyalah dampak sosial politik yang membuat kita berbeda dengan mereka. Hilangkan rasisme, supaya kita bisa bersatu!! PENULIS SOK NASIONALIS... Bukannya saya Nasionalis. Tetapi dengan persatuan kuat yang kita miliki, kita bisa mewujudkan revolusi menuju masyarakat tanpa penindasan. “Coba bayangkan suatu saat nanti, tak ada lagi orang jadi mangsa kekuasaan” - Marjinal.

Singkirkan paradigma kalau orang Cina itu dilahirkan kaya. Karena kalau orang Cina itu kaya, maka Cina adalah negara terkaya raya di dunia karena mempunyai rakyat yang kaya. Dan singkirkan pula paradigma yang menyatakan kalau orang Cina dilahirkan memilik status sosial yang tinggi. Sebab, di pulau Kalimantan tepatnya di Singkawang, banyak orang Cina yang menjadi pekerja kasar (petani, buruh, dsb.) dan adapun Cina yang hidup dibawah garis kemiskinan, rela menjual anak kandungnya ke Pengusaha Kaya dengan berkedok kawin kontrak.

Hahahahaha...

Beginilah pola pikir masyarakat modern Indonesia setelah 32 Tahun dijajah rejim Fasis Soeharto. “Fasis yang baik adalah Fasis yang mati” – Homicide.

Salam Pembebasan...
Oi...

17 Januari 2008

SEBUAH INTRODUKSI

Kami juga bingung mengatakan bahwa ini adalah sebuah zine atau propaganda ataukah hanya tempat untuk mengeluarkan unek-unek semata. Kami sebut ini sebagai e-zine dengan blogspot sebagai medianya, dan ini hanyalah kumpulan unek-unek kami. Dan kami adalah "KaosKaKi", sebuah komunitas di Makassar yg lebih suka disebut sebagai pemerhati PUNK. Tapi soal masalah sebutan, itu adalah hak anda untuk menyebut kami seperti apa. Perbedaan itu indah...

Kenapa kami memilih nama Ladang Protes Zine karena ini hanyalah sebuah media untuk unek-unek kami seperti yang sudah dikatakan sebelumnya. Dan kami menilai itu sebagai Protes supaya kelihatan lebih "SANGAR" dan mengumpulkannya seperti ladang yang luas... Hahahaha....

Esensi dari e-zine ini sendiri tergantung kepada idealisme kami semua, dan kami adalah orang2 yang mempunyai idealisme yang berubah, dan tentunya itu semua karena faktor eksternal dari pribadi kami masing-masing. Makanya jangan heran kalau di dalam zine ini terdapat cerita fiksi, artikel, interview, sampai laporan tentang sebuah acara (gigs report). Dan kami bebas menentukan apa isi dari zine ini, sebagaimana kami bersifat independen. Dan kami tidak membuat hak cipta untuk semua isi dari e-zine ini, karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa hak cipta itu menimbulkan monopoli di dalam kehidupan. Anda berhak mengkopi seluruh artikel ini untuk dijadikan bacaan gratis untuk anak jalanan, newsletter, sampai bacaan atau koleksi anda secara personal.....

Sepertinya kami sudah panjang dalam section 'About-Me'. Kalau ada salah satu dari anda yang mau menjadi kontributor di zine kami, silahkan hubungi e-mail kami yaitu ladangproteszine@gmail.com. Terima Kasih kepada semua orang mencintai perdamaian dan PERSETAN dengan semua orang yang mendukung segala bentuk penindasan.....
SALAM PEMBEBASAN.....
Oi...oi.....

Regards,
Nono, Enda, Tutu, Ale.....