04 Februari 2008

Makassar Diskriminasi

Makassar sebagai kota terbesar ke-3 di Indonesia ini perlahan menjelma menjadi kota metropolitan. Dimana gedung-gedung tinggi bertambah tiap tahun, wajah kota yang mempercantik keberadaannya, fasilitas yang semakin memadai, serta keadaan dimana hedonisme dan vandalisme perlahan-lahan menyatu dengan masyarakat. Keadaan tersebut menyertai perkembangan zaman di kota ini yang mengakibatkan kota ini ramai dikunjungi bahkan dijadikan tempat tinggal oleh saudara-saudara kita dari tempat lain khususnya bagian Timur Indonesia seperti Maluku, Papua, Nusa Tenggara, hingga Kalimantan. Banyak dari mereka yang memilih Makassar sebagai tempat persinggahan, entah mereka hanya mengunjungi ataupun tinggal karena alasan pekerjaan atau pendidikan. Dapat dibuktikan berdasarkan fakta maraknya himpunan mahasiswa dari luar Makassar di kampus-kampus dan pegawai-pegawai imigran yang ditugaskan di kota ini.

Dibalik segala keadaan yang saya sudah deskripsikan di atas, timbul suatu pertanyaan “Apakah mereka yang merantau mendapat perlakuan yang layak di kota tercinta ini????”. Dengan melihat fakta di sekitar bahwa sebagian orang-orang kulit berwarna masih mendapat perlakuan diskriminatif, khususnya orang-orang “berwarna” seperti orang berkulit hitam dan warga keturunan Tionghoa (Cina/Cokin).

Menurut saya wajar saja perilaku diskriminatif berupa rasisme ada di wajah kota Daeng ini, karena perilaku diskriminatif yang lain-lain sudah lebih dulu menghiasi kota ini. Contoh lainnya adalah para waria-waria yang biasa nongkrong di sekitar lapangan Karebosi selalu jadi korban celaan oleh orang-orang yang lewat di sekitar Kawasan Olahraga tersebut, bahkan tak jarang ada salah satu dari mereka yang dilempari batu. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa para banci-banci itu mempersenjatai dirinya dengan busur, badik, dan senjata-senjata khas Makassar lainnya. Begitu-pun dengan rakyat-rakyat kecil yang berpenampilan lusuh diberi label sebagai pencuri, penipu, dll. Apakah seperti ini perilaku-perilaku masyarakat yang didominasi oleh Muslim??? Satu hal yang kita tidak bisa pungkiri bahwa banci juga manusia, dan mereka punya yang namanya perasaan. Belum tentu para diskriminis ANJING itu lebih sempurna (dalam hal kehidupan) daripada banci-banci itu. Buktinya ada banci yang sukses bekerja untuk menopang keluarganya, dan ada pula yang ingin menjadi anggota DPR untuk memperjuangkan hak-hak dan derajat kaumnya di dalam Negara. Huhhh…… Lagi-lagi status sosial!!!!!!!!!!

Tak berbeda dengan perilaku diskriminatif lainnya, rasisme-pun ada di kota Coto ini. Sudah jelas bahwa orang yang berkulit gelap seperti orang-orang Irian, Maluku, dan NTT sering mendapat perlakuan rasis, dengan asumsi bahwa perlakuan rasisme ada di lingkungan sekitar saya. Di dalam kampus tempat saya terjebak dalam institusi pendidikan, banyak orang-orang berkulit gelap yang memburu gelar sarjana di kampus itu. Tetapi masih banyak juga dari mereka-mereka (orang berkulit gelap) yang sering jadi bahan celaan atau mungkin jadi bahan tertawaan oleh mahasiswa tertentu (rasis). Saya juga kurang mengetahui kenapa mahasiswa tertentu itu sering menjadikan orang negro Indonesia sebagai bahan celaan untuk tertawa? Mungkin orang-orang berkulit gelap tersebut terlihat lucu atau bahkan “buruk” di mata mahasiswa rasis tersebut sehingga dijadikan bahan celaan. Ironisnya, masih sedikit Mahasiswa yang ingin berteman dengan mereka (negro Indonesia). Mungkin karena itulah mereka yang berkulit gelap hanya bergaul dengan sesama ras-nya. Hahaha, ternyata kaum yang katanya intelektual itu masih ada yang rasis dengan bangsa sendiri. Mahasiswa... Mahasiswa... Ck...ck...ck...

Lain lagi dengan orang yang berketurunan Cina (Tionghoa), mungkin sebagian besar masyarakat Makassar atau bahkan Indonesia sudah muak dengan ras yang satu ini. Memang tak bisa dipungkiri bahwa ras yang satu ini memang terkenal ulet dan disiplin dalam segala hal, serta sifat yang agak sedikit anti-pribumi. Ada beberapa orang yang mengatakan Cina itu sekke’ (pelit dalam aksen bahasa Makassar), suka pattolo tolo (membodohi dalam aksen bahasa Makassar lagi), dll menurut kacamata mereka masing-masing. Saya sendiri-pun tidak menyukai segelintir ras ini, karena memang ada dari beberapa mereka yang membuat diriku muak. Kenapa?? Karena saya sudah melihat bukti nyata di sekitar lingkungan saya. Mungkin teman-teman sudah pernah mendengar bahwa di Makassar pernah terjadi penjarahan besar-besaran terhadap usaha-usaha yang dimiliki oleh warga keturunan tersebut lantaran ada seseorang dari mereka yang membunuh bocah yang pulang dari mengaji pada tahun 1996, terlibatnya 3 warga keturunan dalam kasus Narkoba pada tahun 2005, tindakan kekerasan terhadap pembantu rumah tangga pada tahun 2006, dan terakhir ditahun 2007 seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar dianiaya oleh beberapa warga keturunan Tionghoa. Itu adalah beberapa kelakuan yang menyimpang dari warga keturunan Tionghoa yang saya ketahui (melalui media massa). Bagaimana kelakuan menyimpang lain yang saya “dan mungkin anda” tidak ketahui???? Apakah anda mengetahui beberapa????

Saya kembali kepada argumen saya di atas, yaitu pernyataan dari beberapa orang yang saya jumpai bahwa warga keturunan Tionghoa itu pelit, dan suka membodohi pribumi. Menurut saya, pendapat seperti itu terlontar karena masyarakat pribumi Makassar berpikir bahwa pelit, dan sifat membodohi itu karena orang Cina menginginkan profit yang banyak di pihaknya. Pendeknya, orang Cina hanya mau untung sendiri (materi) menurut sebagian besar pribumi Makassar. Yang harus kita ketahui pertama-tama yaitu Cina merasa bahwa mereka tidak hidup di tanah nenek moyang yang mengakibatkan tingginya kemampuan bertahan hidup mereka. Oleh karena itulah sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang disiplin, ulet dalam bekerja, dan tegas di segala hal. Kedua, karena faktor yang pertama, sebagian besar Cina hidup sejahtera dan tak sedikit yang hidup mewah sementara fakta yang ada mengakui bahwa sebagian besar Masyarakat Indonesia hidup di dalam lingkaran kemiskinan. Ketika kondisi seperti ini yang terjadi, kemungkinan terjadinya kecemburuan sosial sangat besar. Ketiga, faktor pertama dan kedua mengakibatkan munculnya paradigma baru di Masyarakat bahwa orang Cina itu adalah orang yang ber-ADA, dan mereka dilahirkan sebagai orang kaya dan ber-status sosial tinggi.

Bencong juga Manusia, dan Bencong juga mahkluk Tuhan. Mereka hanya kurang benar dalam memaknai hidup. Oleh karena itu, sungguh keji jika kita merubahnya dengan sejuta caci maki dan beberapa ayunan batu. Rubah dengan pendekatan emosional, sehingga perlahan-lahan orang seperti mereka bisa memaknai hidup lebih berarti.

Hitam dan Putih memang berbeda tetapi warna itu cocok dipadukan dengan warna apapun. Kita dengan orang Hitam juga sama, hanyalah dampak sosial politik yang membuat kita berbeda dengan mereka. Hilangkan rasisme, supaya kita bisa bersatu!! PENULIS SOK NASIONALIS... Bukannya saya Nasionalis. Tetapi dengan persatuan kuat yang kita miliki, kita bisa mewujudkan revolusi menuju masyarakat tanpa penindasan. “Coba bayangkan suatu saat nanti, tak ada lagi orang jadi mangsa kekuasaan” - Marjinal.

Singkirkan paradigma kalau orang Cina itu dilahirkan kaya. Karena kalau orang Cina itu kaya, maka Cina adalah negara terkaya raya di dunia karena mempunyai rakyat yang kaya. Dan singkirkan pula paradigma yang menyatakan kalau orang Cina dilahirkan memilik status sosial yang tinggi. Sebab, di pulau Kalimantan tepatnya di Singkawang, banyak orang Cina yang menjadi pekerja kasar (petani, buruh, dsb.) dan adapun Cina yang hidup dibawah garis kemiskinan, rela menjual anak kandungnya ke Pengusaha Kaya dengan berkedok kawin kontrak.

Hahahahaha...

Beginilah pola pikir masyarakat modern Indonesia setelah 32 Tahun dijajah rejim Fasis Soeharto. “Fasis yang baik adalah Fasis yang mati” – Homicide.

Salam Pembebasan...
Oi...

Tidak ada komentar: