14 April 2008

Subkultur Punk Makassar: Kreatifitas Subversif

Oleh: Mh. Nurul Huda (co) dan Syamsurijal Adhan

Kebanyakan orang memandang sebelah mata. Berbagai label miring seperti biang hiruk pikuk dan kekacauan pun kerap melekat pada diri mereka. Tapi komunitas punk yang tersebar di kota Makasar ini tetap bergeming. Kata mereka, punk adalah simbol perlawanan kaum marginal.

Tak sulit rasanya mengenali kaum punker ini. Model kepala berambut jambul ala Mohawk dengan cat warna-warni, kadang dicukur licin ala skin head dengan tatto menghiasi kepala. Bukan hanya itu, wajah dan kepala mereka dihiasi dengan pearcing, tindik dan flug (sejenis tindik tapi lubangnya lebih besar), dan kulit muka, telinga, serta bibir mereka dipenuhi deretan peniti. Penampilan khas inipun masih dilengkapi dengan aksesoris rantai sebesar jari di leher, celana jeans belel, dompet dengan rantai panjang menjuntai, dan tentu saja tatto yang menempel di sekujur tubuh mereka.

Di kota ini, scene punk, demikian komunitas punk Makasar ini menyebut dirinya, hidup berkelompok di sejumlah tempat. Seperti di Sungai Saddang, Losari, Maccini, Karuwisi, dan Ablam. Sebagian di Sungguminasa, Sidrap, Soppeng, Pare-pare dan beberapa tempat lain di luar Makassar. Mereka memang berbeda dari komunitas lain, karena disatukan oleh sebuah kultur yang berbeda pula. Kelompok ini memiliki semacam ritual, kebiasaan, kegiatan rutin atau pertunjukan bersama antar sesama punk yang membuat mereka layak disebut sebagai sebuah subkultur. Di Makasar para punker menyebut segala aktifitasnya ini dengan sebutan “Underground No Control-Makasar”, dan “Underground Karung Beras” bagi para punker di Sidrap, Soppeng dan Pare-pare.

Persepsi keliru

Bagi masyarakat Makasar, komunitas punk sudah tak asing lagi. Namun sayangnya, persepsi tentang punk rupanya banyak diwarnai oleh anggapan keliru. Punk hanya dikenal dari warna musiknya yang keras, dari Sex Pistols, The Clash, hingga The Worst, dengan beberapa lagu mereka yang terdengar sinis seperti If You don’t Want Fuck Me, Fuck Of atau I Wanna be Sick on You.

Coba simak pernyataan salah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi Islam di Makasar ini. “Penampilan mereka hanya sekedar gaya, temporer saja,” ujar Muh Ibnu, sang dosen. Beberapa koleganya juga menandaskan “punk hanya gaya anak muda, mengikuti perkembangan zaman, seperti kami yang dulu menyukai celana boggie atau cut bray”.

Dalam kehidupan sehari-hari persepsi keliru terhadap komunitas punk ini seringkali juga dilengkapi dengan pandangan tak mengenakkan. Penampilan mereka yang apa adanya, berbeda dan bahkan bertentangan dengan kecenderungan umum masyarakat kota yang teratur tapi monoton, tertib tapi seragam, stylis dan macho tapi dikendalikan industri fashion, gaya hidup modern tapi dituntun etika kapitalisme, dan polesan tubuh yang memesona tapi penuh topeng kepalsuan; membuat keberbedaan punk dinilai sebagai pelanggaran norma, pengacau, atau biang keributan. Bukan sekadar “yang lain”, tak jarang keberadaan mereka diawasi aparat keamanan lantara dicurigai berpotensi kriminal.

“Di sini kalau anak-anak punker lagi ramai, sering datang aparat berpakaian sipil, nanya-nanya ada kegiatan apa, kok ramai-ramai,” tutur Uga yang melihat dari perawakan dan sikap orang itu tak diragukan menyerupai petugas intel.

Kreatifitas

Persepsi miring dan cenderung negatif ini jelas tak seluruhnya benar, apalagi bila kita menyelami kehidupan dan prinsip-prinsip hidup yang diyakini komunitas punk. Anggapan Lomba Sultan yang dekan fakultas syariah IAIN Makasar itu, misalnya, bahwa punk lahir dari keluarga yang broken-home, langsung dipatahkan oleh para punker sendiri.

Sebut saja Adi (nama samaran), misalnya. Seorang anak anggota dewan di kota ini yang tumbuh besar dari keluarga cukup baik. Ia bergabung dengan komunitas punker lantaran ia bisa bebas berkreasi dan memperoleh penghargaan lebih dari teman-temannya. “Di sini saya bisa mengembangkan kemampuan menggambar saya, kalau bagus diambil jadi desain baju,” ujarnya.

Bukan hanya sosok Adi, banyak para punker justeru berasal dari keluarga harmonis. Dekat dengan orang-orang tercinta. Bagi mereka menjadi punker menjadi semacam pilihan. Sebuah pilihan untuk berbeda, kadang melawan arus. Agar hidup bermakna dan lebih kaya.

Kreatifitas dan kejujuran. Prinsip inilah rupanya yang dikembangkan oleh para punker Makasar. Adi dan para punker lain juga berupaya mengembangkan kemampuan, berolah kreatifitas. Dari mendesain baju dan kaos, sampai menekuni olah vokal dan jenis musik dalam bermacam-macam grup band. Tercatat ada puluhan band yang kini dikelola oleh komunitas punker. Seperti band Marginal, Accidental Killing, Permen Karet, The Hendriks dan band-band “underground” lainnya.

Karena itu amatlah keliru bila mengelompokkan kaum punker ini ke dalam kelompok anak-anak jalanan, pemalak, biang kekacauan dan bikin huru-hara. Mereka juga bukan anak muda yang sekadar gaya-gayaan atau ikut-ikutan.

Kultur subversi

Sebaliknya, ada kultur yang dibangun atas dasar kesadaran. Busana dan gaya hidup punk bukan hasil rayuan fashion yang memesona, tapi semacam subversi dan ejekan terhadap dunia fashion sendiri. Busana mereka adalah “busana konfrontasi”, dalam istilah Vivien Westwood. Dengan busana, kaum punker berteriak tentang sinisme dan perlawanan.

“Kita mau bilang, fashion itu dunia yang diciptakan. Kita bisa menerima atau menolak,” ujar Budi.

Sebenarnya para punkers inipun menyadari gaya mereka telah dikomodifikasi. Namun kata Killy, seorang punker yang sahabat dekat Budi, hal itu justru menuntut kreatifitas untuk terus menerus memproduksi gaya baru. “Karena tindik dan piercing sudah jadi trand setter, kita bikin lagi belah lidah, mas. Lebih ekstrim,” kata Killy yang seolah hendak menandaskan peran dirinya sebagai produsen budaya.

Ya, sebuah budaya, kultur. Tepatnya, subkultur punk! Sebuah kelompok yang amat berbeda dengan gejala lain di perkotaan. Bukan sebuah gaya hidup yang lahir layaknya hobby. Bukan pula kelompok yang antisosial, individualistik, dan impersonal yang menggejala di kota-kota. Sebaliknya, mereka justru menghalangi laju komodifikasi dan industrialisasi yang membuat manusia teralienasi dari diri dan tubuhnya sendiri. Lirik-lirik lagu, seperti Aparat Keparat, Hate Government, Merdeka tapi Tak Nyata dari kelompok musik Bugs dan lainnya, jelas terdengar mewakili suara perlawanan ini.

Berbeda dengan karakter masyarakat kota, para punker ini justru aktif bergiat dalam bidang sosial.

Budi, salah seorang punker, misalnya, menuturkan setiap bulan Ramadan kelompoknya melakukan buka puasa bersama dengan kalangan lain yang tak mampu dan anak-anak jalanan. Hebatnya lagi, para punker ini pun menggelar pendidikan alternatif. “Sungai Saddang Street School” namanya, sekolah yang diperuntukkan bagi anak jalanan di sekitar Sungai Saddang.

Demikianlah kultur punk, berlawanan dengan asumsi umum, adalah simbol perlawanan, kreatifitas sekaligus kepedulian. Slogan “No Rule, No God, No Master” menjadi bagian ekspresi kultur mereka yang subversif atas kultur komodifikasi dan industrial kota yang kaku dan mengalienasi.

Sayangnya, keluar dari mainstream selalu dipandang aneh, kelainan sosial, kegilaan, bahkan biang kekacauan. [Liputan: Syamsurijal Adhan]

*Dimuat di Harian Fajar Makasar, Rabu, 28 Februari 2007. Hasil kerjasama Yayasan Desantara, LAPAR Makassar dan Harian Fajar Makassar

Sumber : http://nurulhuda.wordpress.com

Bila Perkawinan Punkers Berlangsung ala Adat Bugis

Oleh: Mh. Nurul Huda (co) dan Syamsurijal Adhan

Tak seperti biasanya, siang itu, sebuah upacara perkawinan yang digelar di Teteaji, Sidrap menyedot perhatian warga sekitar. Tak hanya dihadiri para undangan, laki dan perempuan baik dewasa maupun anak-anak pun ikut menyemut di sekitar rumah Uga, sang pengantin perempuan.

Uga, gadis manis di kampung ini, sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang pemuda yang amat dicintainya. Budi, nama pria itu. Berwajah ganteng dan bertampang keren. Tapi, bukan keserasian pasangan itu yang memancing antusiasme para warga. Budi adalah seorang punker tulen..

“Warga mau tau, gimana perkawinan seorang punker sejati dengan cewek yang keluarganya teguh memegangi tradisi,” tutur Uga yang keturunan bangsawanan Bugis ini.

Benar. Ketika iringan pengantin datang, warga betul-betul dibuat kagum. Budi tidak menanggalkan atribut dan identitasnya sebagai punker. Piercing dan tindik tetap menghiasi bagian tubuhnya. Tak lupa sepatu bot yang khas membungkus kedua kakinya.

Uniknya, Budi rela membalut tubuhnya dengan pakaian pengantin ala adat kerajaan Bugis. Jas tutup, sarung bugis dan songkok tutup kepala khas Bugis. Ia pun membawa berbagai erang-erang, barang bawaan pengantin laki-laki berisi pakaian perempuan dan cincin kawin yang diletakkan di ujung paruh burung yang terbuat dari kain sarung. Mengiringi sang penganting, beberapa orang tua berpakaian adat. Tapi yang lebih mengundang senyum para warga adalah kehadiran puluhan para punker beratribut lengkap yang ikut mengiringi sang calon pengantin.

“Saya harus bisa negosiasi dengan aturan adat yang penting, tapi bukan berarti identitas itu kita lepas,” ujar Budi menimpali penuturan sang istri.

Apa yang dituturkan Budi bukan sekedar ungkapan retoris. Bagi Budi, perlu pejuangan panjang untuk memperoleh restu calon mertuanya yang teguh memegangi tradisi Bugis. Bahkan katanya perkawinan bisa kandas bila ia tidak pandai-pandai mengambil hati si calon mertua. Maklum, ayah Uga sempat meminta Budi meninggalkan dunia punk yang digelutinya.

“Boleh Pak. Saya akan keluar dari punk tapi saya tidak menjamin bisa memberi makan anak bapak,” ujar Budi setengah menggertak. Setelah berdialog panjang, rupanya orang tua Uga pun mulai mengalah dan menerima Budi apa adanya. “Asal dalam proses perkawinan pengantin laki-laki harus mengikuti beberapa prosesi adat,” ujar Uga menirukan ucapan ayahnya. Akhirnya antara kedua belah pihak pun tercapai kata sepakat.

Keteguhan punker yang tetap berada di luar jalur mainstream ini menarik disimak. Bagi punker macam Budi ini, praktek alienasi bukan hanya oleh kapitalisme industrial, tapi juga belenggu adat. Namun perlawanan itu tidak bisa dilakukan secara frontal. “Kondisi di Jakarta berbeda dengan Makasar-Bugis, adat di sini masih kental. Norma-norma yang membelenggu harus dilawan tapi dengan cara negosiasi,” tandas Killy, seorang punker yang baru dua minggu mudik dari Jakarta ini.

Punk dan tradisi lokal

Strategi perlawanan punker Makasar-Bugis nampak berbeda dengan pemberontakan punk yang selama ini diangkat dalam berbagai tulisan. Pemikir Cultural Studies semacam Hebdige, Hall dan Jeferson lebih banyak mengangkat perlawanan komunitas punk terhadap kelompok kelas menengah-atas. Punk hadir dalam kontradiksinya dengan gaya dan kebiasaan kelas menengah. Rambut klimis tersisir rapi dilawan dengan model mohawk. Tubuh bersih dengan pakaian rapi dilawan dengan tubuh penuh tatto, pearcing, tindik dan pakaian acak-acakan. Musik jaz dan musik klasik dikontraskan dengan musik punk yang hinggar-bingar dengan lirik-lirik sinis. Dengan demikian ada garis batas tegas yang membelah antar kelompok-kelompok sosial ini.

Kondisi berbeda rupanya dihadapi komunitas punk Makasar-Bugis. Mereka tidak sekedar bergumul dengan kapitalisme dan komodifikasi, tapi juga tradisi lokal dimana mereka hidup di dalamnya. Kondisi-kondisi inilah nampaknya yang membuat mereka membangun strategi yang lebih negosiatif dan adaptif ketimbang perlawanan totalnya.

Hal ini terlihat, misalnya, dalam lirik lagu-lagu para punker. Menurut penuturan Malik, seorang punker yang masih tercatat sebagai mahasiswa UIN Alauddin ini, para punker kerap menggunakan lagu-kagu Bugis dalam pertunjukan atau album-album mereka. Namun tentu saja, katanya, lagu-lagu itu berlirik perlawanan dengan diiringi warna musik yang hinggar-bingar.

Mungkin karena kemampuan mereka menempatkan diri ini yang membuat Spart-Toys di Sungguminasa bisa eksis dan bertempat di belakang Balla Lompoa. Bahkan tempat mereka biasa mangkal menjadi bagian dari rumah adat Gowa itu.

Sumber :http://nurulhuda.wordpress.com