(sebarkanlah tulisan ini ke seluruh pelosok Sabang-Merauke)
NEGARA INDONESIA INI TERKUTUK MENGULANGI KESALAHAN SEJARAHNYA, KARENA TIDAK BELAJAR DARI KESALAHAN SEJARAHNYA YANG LAMPAU.
(paraphrase ucapan Anwar Sadat)
Kesarjanaan Tinggi.
Anak SMEA sendiri, tahu benar bahwa harga, permintaan dan penawaran berhubungan fungsional satu sama lain. Bila permintaan naik harga akan naik atau bila penawaran naik harga akan turun. Atau bila harga naik, maka permintaan akan turun pada suatu tingkat keseimbangan di mana jumlah permintaan akan sama dengan jumlah penawaran.
Namun dalam hal kenaikan harga BBM, 24-5-2008, prinsip elementer ekonomi tersebut diabaikan total oleh Team Ekonomi Kabinet SBY.
Timbul pertanyaan apakah kesarjanaan Team ini bukan yang dikatrol oleh 'CIA'-Ford Foundation belaka dalam 'Mafia Berkeley' yang disetir dan sudah diperhitungkan dari semula akan berkuasa kelak di Indonesia? (Soal 'Mafia Berkeley' ini sudah dikupas dalam
buku 'Tsunami Bangsa Ini' terbitan LSKN).
Siapa yang tidak penasaran menyaksikan ketololan dari Team Ekonomi Kabinet SBY ini yang -tanpa dasar dan prinip ekonomi- begitu tega menaikkan harga BBM yang menyengsarakan rakyat kecil, sambil menutupi kejahatan mereka tersebut dengan menyandiwarakan jiwa sosial yang pura-pura sangat tinggi terhadap rakyat dengan menyalurkan subsidi BLT-'ratusan perak' yang tidak berarti apa-apa. Namun tidak dapat disangkal bahwa BLT diciptakan hanya untuk menutup-nutupi 'triliunan- perak' subisidi lain dari APBN yang disalurkan seenaknya oleh Sri Mulyani . Menteri keuangan ini justru menganggap dirinya seorang ahli-fiskal, padahal dia ahli-pembukukuan- elementer (boekhouding) pun tidak! Masa' menghadapi lonjakan harga minyak di atas $120 per barrel, Sri Mulyani merumuskan 86 skenario untuk ditentukan pilihannya oleh Presiden? Dalam republik negara hukum ini Undang-Undang Dasar Pasal 31, (4) sendiri bisa dilanggarnya mentah-mentah, bebas sebebas-bebasnya dengan 'impunity'.
Pelanggaran Prinsip-Hukum Harga dalam Kenaikkan Harga BBM dan Pemberian BLT.
Prof. DR Budiono menyanyikan teori harga ngawur: Pemerintah akan menyamakan harga BBM di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional. Ini dilakukan karena anggaran subsidi (APBN) akan ditekan lebih rendah dan Pemerintah ingin menyerahkan harga BBM pada
penyesuaian otomatis dengan harga dunia. Pada 15 Mei 2008, harga jual di Indonesia hanya sebesar Rp 4500 per liter. Dengan kenaikan sekitar 30%, harga jual premium per liter menjadi Rp 6000 per liter. Artinya, Pemerintah akan menyubsidi Rp 3450 per liter.
Prof.Chatib Basri dari Univ. Indonesia dan LPEM-UI menyajikan teori fiktif: Subsidi BBM per liter adalah Rp 4100 (selisih antara harga internasional premium Rp 8600 dan harga domestik kepada pemilik mobil adalah Rp 4100 per hari atau Rp 1,200 000 per bulan. Mereka yang tidak memiliki mobil atau motor, memperoleh subsidi BBM melalui transportasi murah. Salahkah jika dari subsidi yang lebih dari Rp 1,200 000 itu dialokasikan Rp 100 000 sebulannya bagi penduduk miskin?
DR Jusuf Kalla ceplas-ceplos mengedepankan teori saudagarnya: Harga BBM harus naik. Kalau harga BBM tak naik, yang menikmati subsidi itu ialah yang banyak mobil dan yang pakai AC.
Teori konyol ini mengingatkan kita kembali pada Menteri Pasar Rumput Mari Pangestu yang mengarang teori 'operasi-pasar' bohong-bohongan:
Saya tidak bisa menurunkan harga selain dari memberi subsidi bagi orang miskin, dan untuk itu saya pribadi harus turun ke Pasar Rumput - di Jakarta, Indramayu, Surabaya dll untuk membagi-bagikan sembako bersubsidi tapi bagi yang sangat miskin saja. Padahal Menteri ini
dengan mudah bisa menurunkan harga seperti biasanya dengan menambah supply, namun tidak boleh dilakukannya karena harus membantu usaha benalu BULOG memiskinkan para petani. Minyak goreng juga harus saya subsidi bagi orang miskin. Padahal Mari Pangestu bisa dengan gampang sekali menambah pasokan (Indonesia adalah producer CPO terbesar di dunia). Tapi, oleh karena telah menjadi SatPamnya Eka Tjipta -rajanya minyak goreng- yang mengambil kesempatan dari melonjaknya harga CPO dan minyak goreng di pasar dunia- Menteri Pasar Rumput ini dipaksa oleh bossnya untuk membatasi pasokan dalam negeri.
Ketiga ahli-ahli ekonomi di atas tadi tidak menyadari dan sama sekali tidak mengerti, mengapa kenaikan harga BBM harus mereka selewengkan dan lepaskan dari prinsip dan hukum ekonomi harga yang lazim, tapi mendasarkannya melulu pada harga minyak dalam pasar internasional di Malaysia, Thailand, Amerika Serikat dsb dsb.
Sebab, pembentukan harga minyak atau barang apa saja pada setiap negara berlangsung mandiri dengan sstem dan struktur harga domestik masing-masing tanpa pernah ada hubungan satu sama lain. Kalaupun dalam teori perdagangan internasional, pernah dilakukan perbandingan antara harga barang-barang domestik yang satu dengan harga-harga domestik yang lain, tindakan sedemikian terbatas hanya pada usaha untuk memperoleh tingkat kurs mata uang dalam hubungan transaksi valas antar-negara. Tapi tindakan seperti itu tidak pernah dilakukan dan dipertimbangkan dalam memperbandingkan harga minyak atau satu persatu harga barang lain, baik yang ditransaksikan apalagi yang tidak ditransaksikan antar-dua negara. Jadi, perbedaan harga minyak di Indonesia dengan harganya di Malaysia atau Thailand sama sekali tidak menjadi tolok ukur apa-apa bagi suatu tindakan atau peraturan untuk menaikkan harga BBM seperti yang dinyanyikan Budiono.
Apakah subsidi yang sebenarnya fiktif saja dinikmati para pemakai BBM di Indonesia akan turun atau diturunkan Budiono, sekiranya nanti harga minyak turun menjadi $90 per barrel, dan apakah harga BBM di Indonesia akan sekaligus diturunkan Budiono dan dalam pada itu subsidi APBN akan diturunkan pula oleh Sri Mulyani?
Bagaimana harga BBM akan diturunkan apa tidak, jika kurs Rupiah menjadi Rp 10 000 atau Rp 7 000 per dollar? Kan menurut Budiono perubahan kurs dan dengan demikian perbandingan antara harga BBM dalam negeri Indonesia dan harga BBM di Thailand atau Laos akan langsung berubah dan diubah Budiono?
Begitu pula, tidak ada hubungan BLT dengan subisidi fiktif yang seolah-olah dinikmati para pemilik mobil ber-AC dan motor. Subsidi BLT berlangsung bukannya diambil dari dana subsidi fiktif tadi seperti yang dikemukakan Jusuf Kalla dan Chatib dinikmati oleh para pemilik mobil dan motor, tapi langsung dikeluarkan dari APBN. Menurut Sri Mulyani subsidi tersebut dialokasikan sebagai dana kompensasi bagi orang miskin, walaupun makna kompensasi tersebut ditukang-tukangi berbeda dari arti lazimnya. Apalagi, BLT sendiri melanggar prinsip dan hukum ekonomi karena bantuan tersebut baik dari segi sosial dan lebih-lebih dari sudut ekonomi merupakan tindakan tolol dan keliru total.
Jika harga BBM tidak dinaikkan BLT tidak akan diberikan sebagai bantuan bagi fakir miskin. Artinya, golongan miskin yang memperoleh BLT tidak pernah dipedulikan Sri Mulyani sebelumnya. Kenapa justru sekarang orang miskin tersebut tiba-tiba menarik perhatian Sri Mulyani untuk diberikan kompensasi seolah-olah mereka tiba-tiba saja ditimpa kemalangan. Dan mereka sendiri dan bukan korban langsung dari kenaikan harga BBM. Sedang korban langsung dari kenaikan harga BBM, yakni para nelayan, pemakai jasa transport, perusahaan transport dan industri serta PLN dll tidak diberi kompensasi? Penderitaan korban langsung ini sama sekali dicuekkan dan dicoret begitu saja dalam catataan Sri Mulyani, asalkan difisit APBN-nya bisa ditutupinya dengan kenaikan harga BBM, walaupun bukan seluruhnya tapi sebagiannya saja. Ini artinya, Sri Mulyani -ahli fiskal pura-pura ini- hendak berdansa gembira ria diatas kerangka derita rakyat.
Sri Mulyani sama sekali tidak menyadari bahwa dampak negatif makro ekonomi dari keseluruhan subsidi APBN (termasuk BLT) -yang terutama ditimbulkan oleh keharusannya memberi subsidi bantuan triliunan Rupiah bagi bandit-bandit tengik Pertamina- yang sedemikian besarnya hingga justru menciptakan kemiskinan yang lebih parah lagi bagi rakyat seluruhnya, termasuk si penerima BLT sendiri.
Menurut hukum ekonomi-makro: Memperbesar subsidi seperti yang dilakukan Sri Mulyani, berarti memperluas konsumsi aggregate yang pada gilirannya otomatis akan menurunkan investasi aggregate. Turunnya investasi tersebut akan mengakibatkan penurunan produksi nasional dan pendapatan nasional yang berarti pula bahwa kemiskinan rakyat justru akan lebih diperparah lagi . terkecuali PERTAMINA.
Deficit-financing bagi negara-negara berkembang timbul bila dalam keadaan ekonomi terpuruk Pemerintah mereka harus melakukan tambahan investasi. Tapi deficit-financing APBN Indonesia timbul terutama karena Sri Mulyani harus memberi bantuan subsidi bagi Pertamina, yang ternyata hanya subsidi palsu dan terselubung bagi Pertamina supaya perusahaan tersebut dapat meraub laba untuk dibagi-bagikan kesana kemari.
Mengapa Pertamina Bajingan dan Lintah Darat Penghisap darah Rakyat Miskin?
Teori permintaan di satu pihak sedianya dapat menjelaskan perilaku para konsumen bagi produk Pertamina. Dapat disebutkan empat faktor fundamental yang menentukan berapa banyak barang yang akan dibeli oleh konsumen tersebut.
Pertama-tama adalah harga barang dari tiap komoditi yang dibeli. Determinan kedua adalah besaran pendapatannya. Faktor ketiga adalah struktur harga-harga barang-barang substitusi. Dan keempat adalah kurva permintaan si konsumen yang bergerak berlawanan arah dengan harga barang-barang komplemeter dari produk Pertamina.
Namun, tidak perlu menyimak seluruh ke-empat faktor penentu dari demand tadi bagi produk Pertamina dan cukup membatasinya pada tingkat pendapatan yang mendasari permintaan. Dalam hubungan ini dengan singkat dapat dikemukakan, bahwa akan lebih tepat dan adil, jika kenaikan harga BBM di Indonesia sekarang ini dibatasi pada kenaikan harga BBM bagi yang berpendapatan tinggi saja tanpa menaikkan -bahkan menurunkannya- bagi yang berpendapatan rendah. Maksudnya, supaya mereka yang memiliki mobil mewah dengan mesin 2000 cc atau lebih dikenakan harga BBM 200-300%, sedang avtur bagi maskapai penerbangan domestik dikenakan harga 300% sambil sekaligus mempromosikan angkutan laut dan darat yang sekarang ini dalam keadaan morat marit sambil menambah penerimaan APBN sendiri..
Di lain pihak dalam meneliti supply produk Pertamina analisis kita lebih berpihak pada prinsip dan teori harga berdasarkan ongkos-ongkos produksi. Dalam teori supply tersebut yang paling utama disimak seorang ekonom mengenai suatu perusahaan adalah ongkos-ongkos yang berdampak atas harga-harga relatif dari barang-barang dan alokasi jasa-jasa produktif bagi berbagai perusahaan dan industri. Dalam hubungan ini penjelasan harga-harga termaktub dalam teori ongkos-ongkos alternatif atau yang juga dikenal sebagai 'opportunity costs'. Yaitu, ongkos-ongkos suatu faktor produksi X dalam produksi komoditi A disadur dari jumlah maksimal dari produksi komoditi B, C, D dll. Bila ongkos modal di sektor lain dapat memberi laba 10%, maka yang 10% itulah ongkos modal di sebuah pabrik tekstil. Bila 1 Ha tanah menghasilkan 5 ton padi, maka itulah ongkosnya untuk tanaman tebu dalam 1 Ha. Dalam hubungan ini perlu diperhitungkan juga bahwa ongkos produksi tergantung juga dari harga barang permintaan. Sebab, tidak mungkin menentukan ongkos (uang) dari padi sebelum kita ketahui harga tebu. Semakin tinggi nilai produksi alternatif B, C. dll dari suatu jasa faktor produksi tertentu, maka semakin tinggilah ongkosnya dalam memproduksi A. Dengan ini berlakulah hukum ekonomi yang mengatakan bahwa ongkos factor X dalam produksi komoditi A sama dengan nilai nilai produk-marginal X dalam produksi B, C, dll. Penting pula diperhatikan definisi dari 'production function' yang menentukan hubungan antara 'input' dari jasa-jasa produktif dan 'output' produksi per unit waktu. Production functions menjabarkan teknologi atau sitem organisasi dari jasa-jasa produksi, yang diperoleh dari disipilin ilmu lain seperti engineering dan industri kimiah, tapi menjadi data analisis bagi seorang ahli ekonomi perencanaan atau pengamat ekonomi. Bila 1 Ha tanah -dengan bantuan kerjasama dari unit-unit lain yang cocok dan selaras dapat menghasilkan 5 ton padi, maka 1/5 merupakan koeffisien produksi dari type tanah yang menghasilkan padi seperti itu.
Dengan penjelasan teori harga yang singkat di atas ini hendak dikemukakan bahwa kemajuan dari sebuah perusahaan tergantung dari manajemen yang menguasai serta memegang teguh pada teori harga, permintaan dan penawaran beserta implikasi dan komplikasinya yang dihadapi setiap perusahaan., tidak terkecuali Pertamina. Namun perusahaan ini jauh dari manajemen seperti itu.
Lihat saja kemajuan Pertamina yang jauh ketinggalan dari prestasi yang dicapai Petronas. Dengan kekayaan sumber minyak kita yang begitu besar, Pertamina sedianya bisa meraub laba yang sangat besar dan seyogianya merupakan sumber pembiayaan investasi utama di Indonesia. Namun dana investasi yang diraih Pertamina berlangsung dan dilangsungkan oleh dan di dalam dunia Pertamina sendiri saja demi dan untuk perusahaan itu sendiri. Dana investasi tersebut bukan tersalur dalam saluran 'communicating sectors', di mana Pertamina yang menjadi sektor dana surplus-investasi tidak merupakan sumber bagi tersalurnya surplus-investasiny a tadi pada sektor yang deficit savings dan investasi pada sektor ekonomi lainnya yang menghadapi defisit tadi, yang sekalipun menjanjikan hasil yang jauh lebih tinggi dari perluasan investasi baru yang dijalankan Pertamina. Ini berarti bahwa 'opportunity costs' dari investasi baru dari Pertamina, katakan saja dalam rumah sakit bintang-10, hotel-hotel, atau perusahaan asuransi dll yang dilakukan Pertamina menciptakan ongkos produksi yang lebih tinggi berdasarkan hasil yang sedianya bisa diperoleh oleh sebuah industri dalam sektor yang minus dalam dana investasi.
Alhasil, seperti yang kita saksikan berlangsung selama ini, Pertamina menjadi salah satu kendala utama dalam menciptakan 'communicating sectors' (communicerende vatan) dalam perekonomian Indonesia.
Pada dasarnya, melonjaknya harga minyak mentah menjadi $120 per barrel seharusnya menjadi sorga dan bukan neraka bagi Indonesia. Indonesia yang menjadi net-exporter minyak mentah seharusnya memperoleh valas yang sangat besar jumlahnya dengan tingginya harga minyak mentah menjadi $120 per barrel, tapi tidak dapat diraihnya karena kebuta-hurufannya atas sistem sterilisasi valas-$ dan membiarkan perusahaan asing dan Pertamina serta Medco memperoleh windfall profits sepenuhnya yang sangat besar dari naiknya harga crude oil menjadi $120 per barrel.
Kerugian kecil bisa terjadi bagi Indonesia, karena Indonesia menjadi net-importer BBM. Namun kerugian inipun bisa dengan mudah ditutupi dengan windfall profit tadi serta melalui sistem-sterilisasi tadi.
Kesimpulannya: sama sekali tidak mungkin timbul malapetaka minyak bagi Indonesia. Yang menjadi masalah Indonesia adalah banditry yang berkecamuk dan merajalelai Pertramina.
Kebobrokan perkembangan Pertamina sangat unik sekali. Staf dan karyawan Pertamina menggelembung sangat luas dengan operational costs yang menggelembung dengan sendirinya, namun Pertamina menikmati kemakmuran luar biasa, baik dalam penggajian, pensiun milyaran rupiah maupun dalam fasilitas-fasilitas luks lainnya.Pokoknya, tidak ada duanya kedudukan anak -mas Pertamina dalam segala hal. Pembukuan Pertamina tidak pernah boleh diketahui Pemerintah atau di-audit oleh siapapun. Untuk itulah diperoleh jasa-SatPam dari Purnomo Yusgiantoro dan Sofyan Djalil. Pemerintah juga dikelabui oleh oligarki pensiunan Pertamina yang dapat semau gue mendirikan ratusan anak perusahaan yang melakukan over-charge dan mark-up ongkos-ongkos yang dibebankan pada Pertamina tanpa gangguan dari siapa pun.
The funniest part of it all, Pertamina sanggup menggelumbungkan ongkos-ongkos produksi dari kilang-kilang minyak nya yang sedemikian tingginya, hingga harus disubsidi APBNnya Sri Mulyani tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu atas penggelembungan ongkos-ongkos produksi Pertamina. On top of it all, Pertamina setiap tahun bisa meraub untung raksasa yang seenaknya dibagi-bagikan ke sana ke mari. Ketololan ahli fiskal Sri Mulyani terbukti sudah, karena begitu saja menyediakan subsidi BBM tanpa pernah terlintas pada benaknya kejadian-kejadian janggal yang diperhadapkan keuletan Pertamina menciptakan dirinya menjadi benalu tahunan atas rakyat Indonesia, yang hanya memperoleh remah-remah dari kue nasional yang dinikmati Pertamina sama seperti benalu-benalu lainnya, Bank Indonesia dan BULOG.
Bayangkan:
Sungguh tidak mengherankan lagi mengapa Pertamina bisa memakai dua Menteri -Purnomo Yusgiantoro dan Sofyan Djalil menjadi SatPam-nya Pertamina. Di mana di dunia ini ada perusahaan minyak yang memperalat satu apalagi dua Menteri, yang dipakai melulu dan tidak lain dan tidak bukan untuk mempertahankan Pertamina sebagai bandit-bandit 'Al Copone' yang sangat bermurah hati? Pertamina seharusnya dipecah dan dibubarkan untuk dijual pada pihak swasta.
Di mana ada Bank Sentral seperti BI yang Gubernurnya masuk penjara; yang digantikan oleh Budiono yang tidak tahu apa-apa mengenai ilmu moneter; yang Dewan Gubernurnya menciptakan secara kolegial sebuah Yayasan Dana Uang Sogok Rp 100 miliar. Seyogianya BI harus di-retool secara total dan radikal, sedang dalam pada itu Budiono sendiri harus dipecat.
Di mana ada Menteri Keuangan yang menaikkan harga BBM demi kesejahteraan perusahaan-minyak tapi yang menyengsarakan rakyat dan membagi-bagikan bantuan BLT yang dilindungi Menteri Dalam Negeri dan Kapolri? Seyogianya Sri Mulyani harus rela berhenti atau terpaksa diberhentikan.
Sungguh benarlah Republik ini sudah TERKUTUK menjadi Negara Bego.
Namun, siapa bilang Rakyat Indonesia dan para demonstran anti kenaikan harga BBM bisa dan mau diperlakukan sebagai sudah bego juga?
NEVER, NO NEVER!!!
26-5-2008 hmt oppusunggu
--
Thank You and Best Regards,
Natal Hutabarat
GSM/UMTS Core Network Engineer
NB :Tulisan ini dikirim di e-mail kami beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM.
NEGARA INDONESIA INI TERKUTUK MENGULANGI KESALAHAN SEJARAHNYA, KARENA TIDAK BELAJAR DARI KESALAHAN SEJARAHNYA YANG LAMPAU.
(paraphrase ucapan Anwar Sadat)
Kesarjanaan Tinggi.
Team Ekonomi Kabinet SBY, khususnya Budiono, Sri Mulyani, tapi juga Purnomo Yusgiantoro dan Sofyan Djalil, sekalipun menyandang tingkat kesarjaan ekonomi tertinggi dan lulusan dari Universitas tersohor di Amerika Serikat, namun membingungkan, mengapa mereka melakukan kesalahan fundamental melenceng dari teori dan hukum ekonomi elementer sekalipun.
Anak SMEA sendiri, tahu benar bahwa harga, permintaan dan penawaran berhubungan fungsional satu sama lain. Bila permintaan naik harga akan naik atau bila penawaran naik harga akan turun. Atau bila harga naik, maka permintaan akan turun pada suatu tingkat keseimbangan di mana jumlah permintaan akan sama dengan jumlah penawaran.
Namun dalam hal kenaikan harga BBM, 24-5-2008, prinsip elementer ekonomi tersebut diabaikan total oleh Team Ekonomi Kabinet SBY.
Timbul pertanyaan apakah kesarjanaan Team ini bukan yang dikatrol oleh 'CIA'-Ford Foundation belaka dalam 'Mafia Berkeley' yang disetir dan sudah diperhitungkan dari semula akan berkuasa kelak di Indonesia? (Soal 'Mafia Berkeley' ini sudah dikupas dalam
buku 'Tsunami Bangsa Ini' terbitan LSKN).
Siapa yang tidak penasaran menyaksikan ketololan dari Team Ekonomi Kabinet SBY ini yang -tanpa dasar dan prinip ekonomi- begitu tega menaikkan harga BBM yang menyengsarakan rakyat kecil, sambil menutupi kejahatan mereka tersebut dengan menyandiwarakan jiwa sosial yang pura-pura sangat tinggi terhadap rakyat dengan menyalurkan subsidi BLT-'ratusan perak' yang tidak berarti apa-apa. Namun tidak dapat disangkal bahwa BLT diciptakan hanya untuk menutup-nutupi 'triliunan- perak' subisidi lain dari APBN yang disalurkan seenaknya oleh Sri Mulyani . Menteri keuangan ini justru menganggap dirinya seorang ahli-fiskal, padahal dia ahli-pembukukuan- elementer (boekhouding) pun tidak! Masa' menghadapi lonjakan harga minyak di atas $120 per barrel, Sri Mulyani merumuskan 86 skenario untuk ditentukan pilihannya oleh Presiden? Dalam republik negara hukum ini Undang-Undang Dasar Pasal 31, (4) sendiri bisa dilanggarnya mentah-mentah, bebas sebebas-bebasnya dengan 'impunity'.
Pelanggaran Prinsip-Hukum Harga dalam Kenaikkan Harga BBM dan Pemberian BLT.
Prof. DR Budiono menyanyikan teori harga ngawur: Pemerintah akan menyamakan harga BBM di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional. Ini dilakukan karena anggaran subsidi (APBN) akan ditekan lebih rendah dan Pemerintah ingin menyerahkan harga BBM pada
penyesuaian otomatis dengan harga dunia. Pada 15 Mei 2008, harga jual di Indonesia hanya sebesar Rp 4500 per liter. Dengan kenaikan sekitar 30%, harga jual premium per liter menjadi Rp 6000 per liter. Artinya, Pemerintah akan menyubsidi Rp 3450 per liter.
Prof.Chatib Basri dari Univ. Indonesia dan LPEM-UI menyajikan teori fiktif: Subsidi BBM per liter adalah Rp 4100 (selisih antara harga internasional premium Rp 8600 dan harga domestik kepada pemilik mobil adalah Rp 4100 per hari atau Rp 1,200 000 per bulan. Mereka yang tidak memiliki mobil atau motor, memperoleh subsidi BBM melalui transportasi murah. Salahkah jika dari subsidi yang lebih dari Rp 1,200 000 itu dialokasikan Rp 100 000 sebulannya bagi penduduk miskin?
DR Jusuf Kalla ceplas-ceplos mengedepankan teori saudagarnya: Harga BBM harus naik. Kalau harga BBM tak naik, yang menikmati subsidi itu ialah yang banyak mobil dan yang pakai AC.
Teori konyol ini mengingatkan kita kembali pada Menteri Pasar Rumput Mari Pangestu yang mengarang teori 'operasi-pasar' bohong-bohongan:
Saya tidak bisa menurunkan harga selain dari memberi subsidi bagi orang miskin, dan untuk itu saya pribadi harus turun ke Pasar Rumput - di Jakarta, Indramayu, Surabaya dll untuk membagi-bagikan sembako bersubsidi tapi bagi yang sangat miskin saja. Padahal Menteri ini
dengan mudah bisa menurunkan harga seperti biasanya dengan menambah supply, namun tidak boleh dilakukannya karena harus membantu usaha benalu BULOG memiskinkan para petani. Minyak goreng juga harus saya subsidi bagi orang miskin. Padahal Mari Pangestu bisa dengan gampang sekali menambah pasokan (Indonesia adalah producer CPO terbesar di dunia). Tapi, oleh karena telah menjadi SatPamnya Eka Tjipta -rajanya minyak goreng- yang mengambil kesempatan dari melonjaknya harga CPO dan minyak goreng di pasar dunia- Menteri Pasar Rumput ini dipaksa oleh bossnya untuk membatasi pasokan dalam negeri.
Ketiga ahli-ahli ekonomi di atas tadi tidak menyadari dan sama sekali tidak mengerti, mengapa kenaikan harga BBM harus mereka selewengkan dan lepaskan dari prinsip dan hukum ekonomi harga yang lazim, tapi mendasarkannya melulu pada harga minyak dalam pasar internasional di Malaysia, Thailand, Amerika Serikat dsb dsb.
Sebab, pembentukan harga minyak atau barang apa saja pada setiap negara berlangsung mandiri dengan sstem dan struktur harga domestik masing-masing tanpa pernah ada hubungan satu sama lain. Kalaupun dalam teori perdagangan internasional, pernah dilakukan perbandingan antara harga barang-barang domestik yang satu dengan harga-harga domestik yang lain, tindakan sedemikian terbatas hanya pada usaha untuk memperoleh tingkat kurs mata uang dalam hubungan transaksi valas antar-negara. Tapi tindakan seperti itu tidak pernah dilakukan dan dipertimbangkan dalam memperbandingkan harga minyak atau satu persatu harga barang lain, baik yang ditransaksikan apalagi yang tidak ditransaksikan antar-dua negara. Jadi, perbedaan harga minyak di Indonesia dengan harganya di Malaysia atau Thailand sama sekali tidak menjadi tolok ukur apa-apa bagi suatu tindakan atau peraturan untuk menaikkan harga BBM seperti yang dinyanyikan Budiono.
Apakah subsidi yang sebenarnya fiktif saja dinikmati para pemakai BBM di Indonesia akan turun atau diturunkan Budiono, sekiranya nanti harga minyak turun menjadi $90 per barrel, dan apakah harga BBM di Indonesia akan sekaligus diturunkan Budiono dan dalam pada itu subsidi APBN akan diturunkan pula oleh Sri Mulyani?
Bagaimana harga BBM akan diturunkan apa tidak, jika kurs Rupiah menjadi Rp 10 000 atau Rp 7 000 per dollar? Kan menurut Budiono perubahan kurs dan dengan demikian perbandingan antara harga BBM dalam negeri Indonesia dan harga BBM di Thailand atau Laos akan langsung berubah dan diubah Budiono?
Begitu pula, tidak ada hubungan BLT dengan subisidi fiktif yang seolah-olah dinikmati para pemilik mobil ber-AC dan motor. Subsidi BLT berlangsung bukannya diambil dari dana subsidi fiktif tadi seperti yang dikemukakan Jusuf Kalla dan Chatib dinikmati oleh para pemilik mobil dan motor, tapi langsung dikeluarkan dari APBN. Menurut Sri Mulyani subsidi tersebut dialokasikan sebagai dana kompensasi bagi orang miskin, walaupun makna kompensasi tersebut ditukang-tukangi berbeda dari arti lazimnya. Apalagi, BLT sendiri melanggar prinsip dan hukum ekonomi karena bantuan tersebut baik dari segi sosial dan lebih-lebih dari sudut ekonomi merupakan tindakan tolol dan keliru total.
Jika harga BBM tidak dinaikkan BLT tidak akan diberikan sebagai bantuan bagi fakir miskin. Artinya, golongan miskin yang memperoleh BLT tidak pernah dipedulikan Sri Mulyani sebelumnya. Kenapa justru sekarang orang miskin tersebut tiba-tiba menarik perhatian Sri Mulyani untuk diberikan kompensasi seolah-olah mereka tiba-tiba saja ditimpa kemalangan. Dan mereka sendiri dan bukan korban langsung dari kenaikan harga BBM. Sedang korban langsung dari kenaikan harga BBM, yakni para nelayan, pemakai jasa transport, perusahaan transport dan industri serta PLN dll tidak diberi kompensasi? Penderitaan korban langsung ini sama sekali dicuekkan dan dicoret begitu saja dalam catataan Sri Mulyani, asalkan difisit APBN-nya bisa ditutupinya dengan kenaikan harga BBM, walaupun bukan seluruhnya tapi sebagiannya saja. Ini artinya, Sri Mulyani -ahli fiskal pura-pura ini- hendak berdansa gembira ria diatas kerangka derita rakyat.
Sri Mulyani sama sekali tidak menyadari bahwa dampak negatif makro ekonomi dari keseluruhan subsidi APBN (termasuk BLT) -yang terutama ditimbulkan oleh keharusannya memberi subsidi bantuan triliunan Rupiah bagi bandit-bandit tengik Pertamina- yang sedemikian besarnya hingga justru menciptakan kemiskinan yang lebih parah lagi bagi rakyat seluruhnya, termasuk si penerima BLT sendiri.
Menurut hukum ekonomi-makro: Memperbesar subsidi seperti yang dilakukan Sri Mulyani, berarti memperluas konsumsi aggregate yang pada gilirannya otomatis akan menurunkan investasi aggregate. Turunnya investasi tersebut akan mengakibatkan penurunan produksi nasional dan pendapatan nasional yang berarti pula bahwa kemiskinan rakyat justru akan lebih diperparah lagi . terkecuali PERTAMINA.
Deficit-financing bagi negara-negara berkembang timbul bila dalam keadaan ekonomi terpuruk Pemerintah mereka harus melakukan tambahan investasi. Tapi deficit-financing APBN Indonesia timbul terutama karena Sri Mulyani harus memberi bantuan subsidi bagi Pertamina, yang ternyata hanya subsidi palsu dan terselubung bagi Pertamina supaya perusahaan tersebut dapat meraub laba untuk dibagi-bagikan kesana kemari.
Mengapa Pertamina Bajingan dan Lintah Darat Penghisap darah Rakyat Miskin?
Teori permintaan di satu pihak sedianya dapat menjelaskan perilaku para konsumen bagi produk Pertamina. Dapat disebutkan empat faktor fundamental yang menentukan berapa banyak barang yang akan dibeli oleh konsumen tersebut.
Pertama-tama adalah harga barang dari tiap komoditi yang dibeli. Determinan kedua adalah besaran pendapatannya. Faktor ketiga adalah struktur harga-harga barang-barang substitusi. Dan keempat adalah kurva permintaan si konsumen yang bergerak berlawanan arah dengan harga barang-barang komplemeter dari produk Pertamina.
Namun, tidak perlu menyimak seluruh ke-empat faktor penentu dari demand tadi bagi produk Pertamina dan cukup membatasinya pada tingkat pendapatan yang mendasari permintaan. Dalam hubungan ini dengan singkat dapat dikemukakan, bahwa akan lebih tepat dan adil, jika kenaikan harga BBM di Indonesia sekarang ini dibatasi pada kenaikan harga BBM bagi yang berpendapatan tinggi saja tanpa menaikkan -bahkan menurunkannya- bagi yang berpendapatan rendah. Maksudnya, supaya mereka yang memiliki mobil mewah dengan mesin 2000 cc atau lebih dikenakan harga BBM 200-300%, sedang avtur bagi maskapai penerbangan domestik dikenakan harga 300% sambil sekaligus mempromosikan angkutan laut dan darat yang sekarang ini dalam keadaan morat marit sambil menambah penerimaan APBN sendiri..
Di lain pihak dalam meneliti supply produk Pertamina analisis kita lebih berpihak pada prinsip dan teori harga berdasarkan ongkos-ongkos produksi. Dalam teori supply tersebut yang paling utama disimak seorang ekonom mengenai suatu perusahaan adalah ongkos-ongkos yang berdampak atas harga-harga relatif dari barang-barang dan alokasi jasa-jasa produktif bagi berbagai perusahaan dan industri. Dalam hubungan ini penjelasan harga-harga termaktub dalam teori ongkos-ongkos alternatif atau yang juga dikenal sebagai 'opportunity costs'. Yaitu, ongkos-ongkos suatu faktor produksi X dalam produksi komoditi A disadur dari jumlah maksimal dari produksi komoditi B, C, D dll. Bila ongkos modal di sektor lain dapat memberi laba 10%, maka yang 10% itulah ongkos modal di sebuah pabrik tekstil. Bila 1 Ha tanah menghasilkan 5 ton padi, maka itulah ongkosnya untuk tanaman tebu dalam 1 Ha. Dalam hubungan ini perlu diperhitungkan juga bahwa ongkos produksi tergantung juga dari harga barang permintaan. Sebab, tidak mungkin menentukan ongkos (uang) dari padi sebelum kita ketahui harga tebu. Semakin tinggi nilai produksi alternatif B, C. dll dari suatu jasa faktor produksi tertentu, maka semakin tinggilah ongkosnya dalam memproduksi A. Dengan ini berlakulah hukum ekonomi yang mengatakan bahwa ongkos factor X dalam produksi komoditi A sama dengan nilai nilai produk-marginal X dalam produksi B, C, dll. Penting pula diperhatikan definisi dari 'production function' yang menentukan hubungan antara 'input' dari jasa-jasa produktif dan 'output' produksi per unit waktu. Production functions menjabarkan teknologi atau sitem organisasi dari jasa-jasa produksi, yang diperoleh dari disipilin ilmu lain seperti engineering dan industri kimiah, tapi menjadi data analisis bagi seorang ahli ekonomi perencanaan atau pengamat ekonomi. Bila 1 Ha tanah -dengan bantuan kerjasama dari unit-unit lain yang cocok dan selaras dapat menghasilkan 5 ton padi, maka 1/5 merupakan koeffisien produksi dari type tanah yang menghasilkan padi seperti itu.
Dengan penjelasan teori harga yang singkat di atas ini hendak dikemukakan bahwa kemajuan dari sebuah perusahaan tergantung dari manajemen yang menguasai serta memegang teguh pada teori harga, permintaan dan penawaran beserta implikasi dan komplikasinya yang dihadapi setiap perusahaan., tidak terkecuali Pertamina. Namun perusahaan ini jauh dari manajemen seperti itu.
Lihat saja kemajuan Pertamina yang jauh ketinggalan dari prestasi yang dicapai Petronas. Dengan kekayaan sumber minyak kita yang begitu besar, Pertamina sedianya bisa meraub laba yang sangat besar dan seyogianya merupakan sumber pembiayaan investasi utama di Indonesia. Namun dana investasi yang diraih Pertamina berlangsung dan dilangsungkan oleh dan di dalam dunia Pertamina sendiri saja demi dan untuk perusahaan itu sendiri. Dana investasi tersebut bukan tersalur dalam saluran 'communicating sectors', di mana Pertamina yang menjadi sektor dana surplus-investasi tidak merupakan sumber bagi tersalurnya surplus-investasiny a tadi pada sektor yang deficit savings dan investasi pada sektor ekonomi lainnya yang menghadapi defisit tadi, yang sekalipun menjanjikan hasil yang jauh lebih tinggi dari perluasan investasi baru yang dijalankan Pertamina. Ini berarti bahwa 'opportunity costs' dari investasi baru dari Pertamina, katakan saja dalam rumah sakit bintang-10, hotel-hotel, atau perusahaan asuransi dll yang dilakukan Pertamina menciptakan ongkos produksi yang lebih tinggi berdasarkan hasil yang sedianya bisa diperoleh oleh sebuah industri dalam sektor yang minus dalam dana investasi.
Alhasil, seperti yang kita saksikan berlangsung selama ini, Pertamina menjadi salah satu kendala utama dalam menciptakan 'communicating sectors' (communicerende vatan) dalam perekonomian Indonesia.
Pada dasarnya, melonjaknya harga minyak mentah menjadi $120 per barrel seharusnya menjadi sorga dan bukan neraka bagi Indonesia. Indonesia yang menjadi net-exporter minyak mentah seharusnya memperoleh valas yang sangat besar jumlahnya dengan tingginya harga minyak mentah menjadi $120 per barrel, tapi tidak dapat diraihnya karena kebuta-hurufannya atas sistem sterilisasi valas-$ dan membiarkan perusahaan asing dan Pertamina serta Medco memperoleh windfall profits sepenuhnya yang sangat besar dari naiknya harga crude oil menjadi $120 per barrel.
Kerugian kecil bisa terjadi bagi Indonesia, karena Indonesia menjadi net-importer BBM. Namun kerugian inipun bisa dengan mudah ditutupi dengan windfall profit tadi serta melalui sistem-sterilisasi tadi.
Kesimpulannya: sama sekali tidak mungkin timbul malapetaka minyak bagi Indonesia. Yang menjadi masalah Indonesia adalah banditry yang berkecamuk dan merajalelai Pertramina.
Kebobrokan perkembangan Pertamina sangat unik sekali. Staf dan karyawan Pertamina menggelembung sangat luas dengan operational costs yang menggelembung dengan sendirinya, namun Pertamina menikmati kemakmuran luar biasa, baik dalam penggajian, pensiun milyaran rupiah maupun dalam fasilitas-fasilitas luks lainnya.Pokoknya, tidak ada duanya kedudukan anak -mas Pertamina dalam segala hal. Pembukuan Pertamina tidak pernah boleh diketahui Pemerintah atau di-audit oleh siapapun. Untuk itulah diperoleh jasa-SatPam dari Purnomo Yusgiantoro dan Sofyan Djalil. Pemerintah juga dikelabui oleh oligarki pensiunan Pertamina yang dapat semau gue mendirikan ratusan anak perusahaan yang melakukan over-charge dan mark-up ongkos-ongkos yang dibebankan pada Pertamina tanpa gangguan dari siapa pun.
The funniest part of it all, Pertamina sanggup menggelumbungkan ongkos-ongkos produksi dari kilang-kilang minyak nya yang sedemikian tingginya, hingga harus disubsidi APBNnya Sri Mulyani tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu atas penggelembungan ongkos-ongkos produksi Pertamina. On top of it all, Pertamina setiap tahun bisa meraub untung raksasa yang seenaknya dibagi-bagikan ke sana ke mari. Ketololan ahli fiskal Sri Mulyani terbukti sudah, karena begitu saja menyediakan subsidi BBM tanpa pernah terlintas pada benaknya kejadian-kejadian janggal yang diperhadapkan keuletan Pertamina menciptakan dirinya menjadi benalu tahunan atas rakyat Indonesia, yang hanya memperoleh remah-remah dari kue nasional yang dinikmati Pertamina sama seperti benalu-benalu lainnya, Bank Indonesia dan BULOG.
Bayangkan:
- Semua Dirut Pertamina kaya raya ala baron-minyak Texas
- SDmua kaca mata yang dipakai staf dan karyawan Pertamina gratis
- diperoleh dari rumah sakit Pertamina.
- Uang pensiun dari Pertamina bisa membeli 2-3 rumah luks dan para
- pensiunan diaktifkan kembali dalam ratusan anak-perusahaan yang
- diciptakan Pertamina.
- Pertamina bisa menjual seenaknya tanker raksasa yang sudah siap pakai
- Pertamina mengangkat Menteri Budiono menjadi Komisaris untuk
- mencicipi gaji buta jutaan Rupiah dari Pertamina
- Pertamina mengangkat Jendral Endriartono Sutarto -teman dekat SBY-
- menjadi Komisaris Utama
- Pertamina menghadiahka rumah luks bagi Prof. Emil Salim
- Semua fasilitas tersebut, ujung-ujungnya terpulang pada subsidi APBN-
- nya Sri Mulyani.
Sungguh tidak mengherankan lagi mengapa Pertamina bisa memakai dua Menteri -Purnomo Yusgiantoro dan Sofyan Djalil menjadi SatPam-nya Pertamina. Di mana di dunia ini ada perusahaan minyak yang memperalat satu apalagi dua Menteri, yang dipakai melulu dan tidak lain dan tidak bukan untuk mempertahankan Pertamina sebagai bandit-bandit 'Al Copone' yang sangat bermurah hati? Pertamina seharusnya dipecah dan dibubarkan untuk dijual pada pihak swasta.
Di mana ada Bank Sentral seperti BI yang Gubernurnya masuk penjara; yang digantikan oleh Budiono yang tidak tahu apa-apa mengenai ilmu moneter; yang Dewan Gubernurnya menciptakan secara kolegial sebuah Yayasan Dana Uang Sogok Rp 100 miliar. Seyogianya BI harus di-retool secara total dan radikal, sedang dalam pada itu Budiono sendiri harus dipecat.
Di mana ada Menteri Keuangan yang menaikkan harga BBM demi kesejahteraan perusahaan-minyak tapi yang menyengsarakan rakyat dan membagi-bagikan bantuan BLT yang dilindungi Menteri Dalam Negeri dan Kapolri? Seyogianya Sri Mulyani harus rela berhenti atau terpaksa diberhentikan.
Sungguh benarlah Republik ini sudah TERKUTUK menjadi Negara Bego.
Namun, siapa bilang Rakyat Indonesia dan para demonstran anti kenaikan harga BBM bisa dan mau diperlakukan sebagai sudah bego juga?
NEVER, NO NEVER!!!
26-5-2008 hmt oppusunggu
--
Thank You and Best Regards,
Natal Hutabarat
GSM/UMTS Core Network Engineer
NB :Tulisan ini dikirim di e-mail kami beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM.